Jum’at, 6 Maret 2020, seperti biasa, mahasiswa SPI mengadakan diskusi rutinannya yang biasa disebut Formad. Diskusi tersebut bertempat di gedung Perpustakaan Lama lantai 2 atau biasa disebut PL 3. Ada hal menarik dalam diskusi tersebut, yaitu dimana sang pemantik adalah Muna Roidatul Hanifah yang merupakan Kahima SPI periode 2018/2019 dan moderator sendiri oleh Raziq Nazmi yang saat ini menjabat sebagai Kahima SPI periode 2019/2020. Tema dari Formad tersebut juga tak kalah menarik, yaitu LGBT ala Sigmund Freud: Naluriah Manusia Menuju Kebebasan.
Dalam Formad tersebut moderator memberi sebuah pengantar singkat tentang tema tersebut, bahwa LGBT mulai dikenal sejak sekitar 1960-an. LGBT awal dikenal mulai dari daratan Eropa yang menganut ideologi sekularisme-kapitalisme, yang demikian itu dipengaruhi karena trauma masa lalu seperti perlakuan pemerintahan dan pastur-pastur gereja yang meliputi penindasan-penindasan. LGBT lahir karena kegagalan Barat dalam menghadapi krisis moral, perilaku, hawa nafsu, politik dan revolusi industri. Sedang Denmark adalah Negara yang pertama kali melegalkan aktivitas LGBT di Eropa.
Mulailah sang pemantik, Muna, angkat bicara mengenai LGBT. Selang hari sebelumnya, Muna sempat menyebar video yang berjudul “Perempuan Tanpa Vagina.” Judul tersebut sebenarnya adalah sebuah ungkapan untuk menunjuk orang-orang yang memiliki kebiasaan yang berbeda atau bahkan bertolak belakang dengan kelamin yang ia miliki, seperti waria.
LGBT sendiri adalah sebuah singkatan dari Lesbian Gay Biseksual dan Transgender. Lesbian yaitu kecenderungan perempuan untuk menyukai sesama jenisnya, yaitu perepuan. Sedang Gay tidak jauh berbeda dari lesbian, yaitu laki-laki yang mempunyai kecenderungan untuk menyukai sesama laki-laki. Jadi, Lesbian dan Gay bisa mendapatkan kenikmatan seksualnya dari sesame jenis kelaminnya dan hal yang demikian tidak bisa dikendalikan.
Selanjutnya Biseksual, yaitu orang-orang yang mempunyai ketertarikan kepada dua jenis kelamin, yaitu kepada laki-laki dan perempuan. Jadi mereka bisa mendapatkan kenikmatan seksualnya dengan laki-laki sekaligus perempuan. Selain itu ada juga istilah Transgender yang istilahnya sering disalahpahami. Istilah Transgender di Indonesia diartikan sebagai seseorang yang berganti kelamin karena keinginannya atau seseorang yang melakukan operasi kelamin seperti penis diganti vagina atau sebaliknya. Namun, bukan itu arti sebenarnya Transgender. Untuk lebih jelasnya kita harus mengetahui apa itu seks dan gender.
Seks adalah sesuatu biologis yang dianugerahkan kepada manusia dan itu tidak bisa dirubah atau diganti. Jadi, seks itu artinya bukanlah suatu perbuatan melainkan dimaknai sebagai kelamin, seperti laki-laki atau perempuan. Sedang gender adalah sifat yang dilekatakan kepada seks tersebut. Misal, seseorang yang mempunyai vagina otomatis gender yang dilekatkan bahwa seorang wanita identik dengan lemah lembut, anggun, atau yang lainnya. Dan jika seseorang yang memiliki penis maka gendernya identik dengan kuat, berotot dll. Jadi, yang dimaksud Transgender adalah ketika seseorang mempunyai gender tidak sesuai dengan seksnya, seperti waria. Waria mempunyai penis tapi sifat yang melekat pada dirinya adalah sifat-sifat yang sering dilekatkan pada seseorang yang mempunyai vagina, ataupun sebaliknya. Namun, budaya kita di Indonesia sedikit gagap ketika melihat fenomena tersebut.
Fenomena LGBT di Indonesia tidaklah seperti di Negara-negara Eropa yang melegalkannya. Meskipun demikian, di Indonesia sendiri suda ada komunitas-komunitas LGBT, bahkan ada hari peringatan solidaritas LGBT yang diperingati setiap tanggal 1 Maret. Namun, tidak ada legalitas dari segi apapun yang disahkan oleh pemerintah.
Ketika melihat fenomena LGBT di Indonesia, sebagian besar orang terlalu gagap untuk melihat hal tersebut. Mereka akan heran, dan itu hal yang biasa. Itu adalah kejiwaan dan mental, meskipun pada akhirnya mereka akan tahu bahwa ada faktor yang melatarbelakangi terkait LGBT. Faktor yang paling mendominasi di sini adalah faktor eksternal.
Ketika kita bicara pro tentang LGBT tapi belum pernah melihat sudut pandang Barat, mungkin akan sulit. Sebab budaya kita sangat ketat terhadap dalam melihat seks. Seperti ketika masyarakat tabu dengan istilah penis, vagina dan hal lain yang bersangkutan dengan seksualitas. Apalagi suatu hal yang tabu tersebut harus diperbincangkan, pastinya akan menjadipembicaraan yang sulit.
Lain hal dengan yang kontra. Jelas mereka mempunyai argumen yang kuat bahwa memang budaya kita tidak mewadahi hal-hal yang demikian. Banyak dalih yang mereka gunakan seperti agama, budaya dsb. Namun inti dari perdebatan adalah bagaimana cara orang memandang LGBT. Ketika dipandang dari sudut pandang Barat, akan tahu bahwa liberal adalah kebebasan, tapi di budaya kita hal tersebut akan berbeda.
Lain hal lagi jika menurut Sigmund Freud, ia adalah bapak psikoanalisis. Banyak penelitian yang telah ia lakukan mengenai mental dan kejiwaan seseorang. Dan ketika ia melihat LGBT, ia melihatnya sebagai kelainan seksual. Jadi kelainan sesksual yaitu seseorang yang orientasi sesksulnya berbeda dari kebanyakan orang. Menurut Freud, hal tersebut disebabkan oleh banyak faktor terutama mengenai perkembangan. Karena ia lebih banyak menyoroti tebtang psikologi perkembangan.
Freud menjelaskan bahwa anak di usia 1-12 tahun adalah masa yang sangat menentukan bagaiman kepribadiannya kelak. Seorang anak yang sering melihat ayah dan ibunya bertengkar, atau misalnya seorang ayah yang menghajar ibu, maka secara psikologis anak itu kelak akan membenci jenis kelamin ayahnya. Atau ketika seorang ibu hamil yang menginginkan anak perempuan dan selalu membayangkannya padahal anak itu masih dalam kandungan, maka itu akan berpengaruh pada hormon anak tersebut dan bisa mengakibatkan ia nantinya akan mengidentifikasi dirinya sebagai perempuan meskipun ia mempunyai penis. Dan menurut Freud, LGBT bisa disembuhkan dengan terapi. Ia menganggap hal tersebut sebagai sebuah mental disorder atau sakit kejiwaan.
Serunya diskusi membuat timbul pertanyaan dari audien, bagaimana jika LGBT dilegalkan di Indonesia? Lantas pemantik memberikan pandangannya bahwa kita tidak boleh menelan secara mentah meskipun sesuatu itu berasal dari Barat hanya karena Barat dikenal dengan kemajuannya. Kita punya lingkungan sendiri, budaya sendiri, apakah kita harus mengingkari budaya kita sendiri?
Ada juga pertanyaan apakah kaum LGBT itu tudak bertuhan? Pemantik menjawab bahwa bertuhan atau tidak itu urusan mereka. Yang perlu digarisbawahi bahwa yang mendasari pemikirannya yaitu mereka membuang agama karena mereka mengatakan seakan-akan tidak ada Tuhan yang memberikan kodrat bahwa laki-laki itu harus dengan perempuan.
Tak terasa sudah satu jam diskusi berlangsung. Ketika dirasa cukup tidak ada audien yang bertanya, maka dicukupkanlah diskusi kali ini. Pemantik memberikan sebuah pesan bahwasanya ketika ada fenomena LGBT, kita harus berhati-hati. Kita sebagai warga Negara yang beragama dan berbudaya. Meskipun LGBT bisa disembuhkan, tetapi kita harus tetap waspada. [srjl]