MAHASISWA SPI UIN SATU TULUNGAGUNG HISTORY TOUR KE YOGYAKARTA

Himpunan Mahasiswa Program Studi Sejarah Peradaban Islam Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah (FUAD) Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung mengadakan kegiatan History Tour yang bertajuk “Menyusuri Sejarah Wangsa Syailendra di Bumi Mataram”. Kegiatan ini dilaksanakan pada Rabu, 14 Juni 2023 sampai Kamis, 15 Juni 2023.

Sasaran setting kegiatan ini adalah Candi Plaosan, Candi Kalasan, Candi Ratu Boko, dan Malioboro Yogyakarta. Dalam kegiatan ini, HMP SPI menghadirkan narasumber sekaligus dosen di program studi ini yakni Drs. M. Dwi Cahyono, M.Hum. Selain itu, hadir juga Mochammad Faizun, S.S., M.Pd.I. sebagai Koordinator Program Studi Sejarah Peradaban Islam, Nurul Baiti Rohmah, S.S., M.Hum. yakni dosen bahasa dan sastra Jawa di program studi ini, Saiful Huda, perwakilan dari komunitas pelestari cagar budaya Asta Gayatri Tulungagung, serta hadir juga Rhomayda Alfa Aimah, M.A. yakni seorang filolog lulusan Leiden University yang menjadi dosen bahasa Belanda di FUAD.

Mahasiswa hendak memasuki Candi Plaosan

Candi Plaosan Lor, atau Kompleks Plaosan, atau Candi Plaosan terletak di daerah Plaosan, Jawa Tengah, Indonesia. Candi Plaosan yang indah ini juga dikenal sebagai candi Budha dikarenakan adanya kemuncak stupa, arca Buddha, serta candi-candi perwara (pendamping/kecil) yang berbentuk stupa. Kompleks candi Plaosan terbagi menjadi dua bagian, Plaosan Lor dan Plaosan Kidul. Komplek Candi Plaosan terdiri dari tiga bangunan utama yang dikelilingi oleh ratusan kuil. Candi Plaosan Lor memiliki karakteristik bangunan yang unik. Hal ini dapat dilihat dari  ikonografi dan arsitekturalnya yango menggunakan life style Jawa Tengahan. Seperti pada penataan layout, bentuk Arca Dwarapala, dan pengkombinasian Makara pada Candi Plaosan berbeda dengan candi-candi di Jawa Timur. Arca Dwarapala di Candi Plaosan atau Candi Jawa Tengahan terkesan lebih seram daripada Arca Dwarapala di candi-candi di Jawa Timur, seperti candi Penataran. Arca Dwarapala di candi Plaosan digambarkan dengan figur demonis yaitu mata melotot, bertaring, tubuh besar, dan keriting sambil memegang gada yang dibalut dengan wajra. Arca Dwarapala di Candi Plaosan memiliki posisi saling berhadapan, berbeda dengan Arca Dwarapala di Jawa Timur yang memiliki posisi menghadap ke depan. Sebenarnya Arca Dwarapala merupakan ciri khas dari candi Hindu Saiwa. Penggunaan Arca Dwarapala di Candi Plaosan merepresentasikan toleransi  antara Hindu-Saiwa dengan Mahayana Buddhisme Pada masa Dinasti Syailendra. Selain bentuk Arca Dwarapala, keunikan candi Plaosan juga dapat dilihat melalui pengkombinasian Makara dan wajah Kala atau yang dikenal dengan Kala Makara. Jika pada life style Jawa Timur Makara ini biasanya dikombinasikan dengan naga atau rasa, maka pada life style Jawa Tengahan Makara dikombinasikan dengan wajah Kala atau Kala Waja. Arsitektural candi-candi di Jawa Tengah terkesan lebih distilasi daripada candi-candi di Jawa Timur yang naturalis.

Rupanya keberadaan Candi Plaosan sudah ditulis oleh Rafles dalam bukunya History Of Java maupun pada OUDHEIDKUNDIGEN DIENST atau Dinas Purbakala Hindia Belanda. Sejak abad ke-18 banyak Sejarawan yang memperdebatkan siapa yang mendirikan Candi Plaosan. Setidaknya terdapat tiga pendapat masyhur mengenai siapa yang mendirikan Candi Plaosan. Pendapat yang paling banyak diikuti adalah pendapat De Casparis ( 1952). Menurut De Casparis Candi Plaosan dibangun atas perintah raja Mataram yaitu Rakai Pikatan yang merupakan suami dari Pramordhawardani. Menurut De Casparis, meskipun Rakai Pikatan ini beragama Hindu-Saiwa namun dia berjasa dalam pembangunan candi-candi Buddhist di Mataram sebagai bentuk toleransi kepada istrinya yang beragama Buddhis. Pernyataan ini berdasarkan bukti tekstual yaitu prasasti Sri Kahulunan yang berangka tahun 1842. Sri Kahulunan merupakan abisheka nama atau nama gelar dari Pramordhawardani. Namun pendapat tersebut dibantah arkeolog Bukhori dalam “Epigrafi dan Sejarah Indonesia” yang dimuat dalam majalah Arkeologi Tahun I, No. 2, 1977. Bukhori menafsirkan, Sri Kahulunan yang dimaksud bukanlah  Pramodhawardhani. Pramoddhawardhani memang permaisuri Rakai Pikatan, namun ia bukan istri satu-satunya. Sri Kahulunnan yang dimaksud  merujuk kepada ibu suri atau ibu Pramodawardhani, yaitu Dewi Tara. Pendapat kedua, Candi Plaosan dibangun oleh Rakai Garung yang merupakan ayah Rakai Pikatan. Namun, karena masa pemerintahan Rakai Garung yang relatif pendek maka pembangunan Candi Plaosan dilanjutkan oleh Rakai Pikatan. Pendapat ketiga, menurut Dummersai pembangunan Candi Plaosan tidak dibangun pada satu masa, melainkan lintas era bahkan sampai tiga era mulai dari Rakai Panangkaran, Samaratungga, dan Rakai Pikatan.

Meskipun Candi ini adalah Candi Buddhis, namun arsitektur candi ini merupakan perpaduan antara kebudayaan Hindu-Saiwa dan Mahayana Buddhisme yang terlihat dari bentuk dan struktur bangunan candi, atap candi  yang menjulang tinggi vertikal merupakan ciri dari candi peninggalan Hindu, sedangkan pondasi candi dengan struktur yang tambun dan gemuk menunjukkan bangunan candi tersebut bercirikan peninggalan kebudayaan Budha. Sebagai Candi Buddhis, Candi Plaosan memiliki bilik utama yang didalamnya terdapat arca Budha dan Diyani Bhodisatva. Bilik tersebut dikenal dengan istilah garba greha. Candi ini membentuk layout konsentris yang dalam istilah Budha disebut pradaksina.

Berteduh dengan bayangan Candi Kalasan, mahasiswa menyimak pemaparan materi

Obyek history tour yang kedua adalah Candi Kalasan. Candi Kalasan merupakan candi dengan latar belakang Mahayana Buddhisme. Seperti Candi Plaosan, Candi Kalasan juga merupakan bentuk toleransi antara Hindu-Saiwa dengan Mahayana Buddhisme. Berdasarkan prasasti Kalasan yang berangka tahun 778 M dan cerita Parahyangan Candi ini dibangun oleh Rakai Panangkaran. Namun ada yang berpendapat jika pembangunan Candi Kalasan ini belum selesai pada masa Rakai Panangkaran sehingga dilanjutkan atau disempurnakan pembangunannya pada masa Rakai Pikatan. Pada masa pemerintahan Rakai Pikatan terdapat pembangunan Candi besar-besaran, baik itu candi Hindu maupun Candi Buddhis. Sebagaimana Rakai Pikatan membangun candi Plaosan Lor untuk istrinya Pramordhawardhani, konon Rakai Pikatan juga menyempurnakan pembangunan candi Kalasan sebagai penghormatan terhadap Rohaniawan Buddhis, karena selain berfungsi sebagai tempat pemujaan, Candi Kalasan juga berfungsi sebagai tempat tinggal rohaniawan Buddhis. Meskipun Rakai Pikatan ini beragama Hindu-Saiwa, tetapi Rakai Pikatan ini membangun beberapa candi Buddhis untuk menghormati keyakinan istrinya, yaitu Pramordhawardhani.

Indikator-Indikator ke-Budhaan di candi Kalasan dapat dilihat dari bukti tekstual yaitu prasasti Kalasan dan cerita Parahyangan dan bukti-bukti artefaktual seperti Arca, relief, relix, stupa, dan yasti. Pada prasasti Kalasan yang berangka tahun 778 M menceritakan bahwa Candi Kalasan merupakan tempat pemujaan Dewi Tara. Dalam agama Budha kita mengenal yang namanya Dewi adi sakti atau Ista Dewata. Dalam agama Buddhis Dewi Adi Saktinya dikenal dengan nama Dewi Tara. Tempat pemujaan Dewi Tara di Wihara ini ada garba greha ( perut candi). Di bilik utama garba greha terdapat patung Ista Dewata, sedangkan di bagian kanan belakang dari garba greha terdapat sebuah bilik yang berisi patung-patung Dewata Buddhis tetapi bukan Ista Dewata. Kini patung Ista Dewata sendiri sekarang telah raib.

Patung Ista Dewata ini memang tidak dibuat langsung secara utuh. Disana ada arca Dewi Tara yang terbuat dari perunggu yang tidur diatas singgasana yang terbuat dari batu. Batu tersebut berbentuk seperti kelopak bunga teratai, namun berbeda dengan teratai biasa. Batu tersebut dilengkapi dengan sandaran. Di Sangga atau sandaran patung juga terdapat MakaraMakara tersebut berbentuk singa yang menyangga pala. Arca Ista Dewata di candi Kalasan memiliki kemiripan dengan arca Prajnaparamita, karena antara Wangsa Syailendra dan Singasari sama-sama mendapatkan pengaruh dari kesenian Pala. Di Kerajaan Singhasari pengaruh seni Pala ini sangat terlihat pada masa pemerintahan Singaraja, Wisnuwardhana, dan Kertaraja. Meskipun terpaut satu setengah milenium antara Singasari pada abad ke-tiga belas dan Dinasti Syailendra pada abad kedelapan, namun keduanya memiliki kesamaan dalam sangga. Berdasarkan asana tersebut kita dapat mengukur tinggi Arca dan candinya. Candi Kalasan ini sangat besar jika diukur dari Makara sampai atap. Arca Ista Dewata tersebut berukuran kurang lebih empat sampai enam meter mirip dengan ukuran arca di Candi Sewu, tetapi arca yang ada di Candi Sewu bukan arca Ista Dewata tetapi Diyani Bodhisattva. Di sekitar Wihara terdapat tirtamartani atau sumber air yang digunakan untuk bersuci sebelum sembahyang. Tempat untuk mendapatkan tirta berada di lembah luas

Selain berfungsi sebagai tempat pemujaan, Candi Kalasan juga merupakan tempat tinggal anggota sangga atau rohaniawan Buddhis dimana dalam agama Buddha memiliki tiga unsur utama yang disebut Tri Ratna yang meliputi Budha, Sangga, dan Wihara. Budha sendiri yaitu Sang Budha Gautama dan berbagai emanasi atau pancaran dari Sang Budha, sangga adalah komunitas rohaniawan Buddhis, dan wihara yaitu tempat beribadah umat Buddhis. Selain Wihara sebagai tempat ibadah, rupanya di candi Kalasan juga terdapat tempat tinggal para rohaniawan Buddhis atau yang disebut dengan istilah Sanggrahan. Di dalam Wihara di Candi Kalasan ini ada sebuah patung yang disebut Diyani Bodhisattva, sama seperti di candi Plaosan.

Pengaruh keagamaan Buddhisme di Candi Kalasan juga dapat dilihat dari pengaruh kesenian dan ikonografi.  Arsitektural di Candi Kalasan sama dengan di Candi Plaosan dipengaruhi oleh Mahayana Buddhisme. Salah satu contoh perwujudan Mahayana Buddhisme pada bidang ikonografis adalah seni artinya yang berbentuk masterpiece yaitu arca ini membentuk lekukan tubuh perempuan yang membentuk huruf S atau tiga lekukan yang disebut dengan tribangga. Ikonografis masterpiece nya membentuk sundapala. Sunda dalam istilah toponimi merupakan kepanjangan dari Susu ndara atau payudara wanita. Jejak-jejak arsitektural ke-Budhaan di Candi Kalasan dapat kita lihat pada bagian atapnya terdapat kemuncak atau yang dalam Islam disebut kubah itu berbentuk stupa. Dalam life style Jawa Tengahan atap candi terdiri dari tiga susun dan dilengkapi dengan kemuncak. Stupa pada candi Kalasan berbentuk genta atau seperti topinya prajurit Persia. Stupa ini sendiri memiliki bentuk yang bermacam-macam, mulai dari setengah lingkaran, genta, dan stupa bawang. Stupa dalam bahasa Jawa Kuno disebut dengan anda yang berarti “ telor “ Seperti telor stupa ini juga berlapis-lapis dengan stupa inti di bagian kemuncak dan dikelilingi oleh stupa-stupa kecil di setiap ujungnya. Jika dilihat dari arsitektural kemuncaknya dapat dilihat dengan jelas bahwa candi ini merupakan candi Buddhis tanpa melihat arca ataupun prasasti Kalasan.

Berlatar gerbang keratob Ratu Boko, mahasiswa menyimak pemaparan dari pak Dwi Cahyono.

Obyek history tour yang ketiga adalah Situs Kepurbakalaan Ratu Boko  yang terletak di Gatak, Bokoharjo, Prambanan, Sleman, Yogyakarta. Situs Kepurbakalaan Ratu Boko pertama kali ditemukan oleh Van Buechkoct pada tahun 1970. Asal mula Situs Kepurbakalaan Ratu Boko masih menjadi distorsi para sejarawan. Berdasarkan umber data tekstual yaitu prasasti Abhayagiri wihara yang mempunyai angka 792 M Situs Ratu Baka merupakan tempat Rakai Panangkaran yang  mengundurkan diri dari Raja Mataram karena, membutuhkan sebuah ketenangan. Kemudian, Rakai Panangkaran membangun sebuah wihara yang disebut Abhayagiri Wihara, tetapi F. D. K. Bosch dalam bukunya yang berjudul Keraton Van Ratu Boko berpendapat bahwa situs ini merupakan bekas keraton pada masa Durgagini yang diperintah oleh seorang raja bernama Prabu Boko. Pada era tersebut terjadi perseteruan antara keraton di bagian lembah yaitu Mataram yang dipimpin oleh Rakai Pikatan dan keraton dibagian bukit yang dipimpin oleh Prabu Boko.

Berdasarkan prasasti yang berangka tahun 786 M, Prabu Boko disini ditafsirkan Balaputradewa yang merupakan adik dari Pramordhawardhani. Pada medio abad abad ke-8, situs Kepurbakalaan Ratu Boko ini beralih fungsi dari Wihara menjadi pusat pemerintahan. Selain fungsi politik, kompleks Kepurbakalaan Ratu Boko juga digunakan sebagai benteng militer oleh Balaputradewa untuk menahan serangan dari Rakai Pikatan. Sistem pertahanan yang digunakan oleh Balaputradewa, mirip sistem pertahanan orang Persia, yaitu dengan membuat parit disekeliling gerbang. Keraton Ratu Boko yang dikelilingi oleh bukit kapur yang terjal dan tebing-tebing yang berbentuk terasering mempermudah Balaputradewa untuk kabur jika ada serangan dadakan dari Rakai Pikatan.

Situs Ratu Boko juga merepresentasikan dua kehidupan religius yaitu Hindu-Siwa dan Mahayana Budhisme yang dibuktikan adanya gabungan antara elemen Hindu dan Budha pada bangunan Candi. Misalnya, terdapat candi-candi kecil dengan stupa yang biasanya diasosiasikan dengan agama Budha, adanya lingga kertivasatriyambakahara, miniatur yoni, dan arca Ganesha diasosiasikan dengan agama Hindu. Arca Ganesha raksasa dan tugu Jayastantra disinyalir sebagai simbol kekalahan Prabu Boko melawan Rakai Pikatan. Sesudah pertempuran tersebut tidak ditemukan informasi mengenai keberadaan Balaputradewa. Para sejarawan berpendapat bahwa Balaputradewa lari ke Sumatra dan menjadi raja di kerajaan Sriwijaya. Satu-satunya informasi yang menyebutkan keberadaan Balaputradewa adalah prasasti Nalanda di Sumatera yang didalamnya menyebut nama kakek Balaputradewa, yaitu A Rakai Panangkaran.

Pelaksanaan kegiatan ini berjalan dengan lancar tanpa ada halangan sama sekali. Banyak ilmu pengetahuan yang didapatkan mahasiswa melalui kegiatan ini. Artinya, terdapat kontribusi positif, sehingga kegiatan sebanding seperti ini harus tetap dilaksanakan. Hal ini tidak lain dan tidak bukan, semata-mata hanya untuk memberi pengetahuan dan skill tambahan untuk mahasiswa SPI agar semakin berkembang dan semakin produktif dalam menjalani tugasnya sebagai mahasiswa masa kini.