Minggu, 21 Mei 2023, HMPS SPI menyelenggarakan Goes to Situs ke Gua Selomangleng di desa Sanggrahan, kecamatan Boyolangu, kabupaten Tulungagung. Kegiatan ini bertujuan untuk mengisi liburan sekaligus meningkatkan rasa cinta sejarah. Para peserta kegiatan ini adalah mahasiswa SPI semester dua dan empat dengan dipandu Wafa Syaifa, mahasiswi SPI semester empat dan Lana Faiza, mahasiswi SPI semester enam. Perjalanan dimulai dari UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung dan memakan waktu 30 menit untuk sampai di situs.
Gua Selomangleng merupakan situs peninggalan dari era Mataram Kuno yang masuk kawasan BKPH Kalidawir kabupaten Tulungagung. Situs ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berbentuk gua dan bagian kedua ada di bukit di atasnya. Sebelum sampai di gua, peserta harus melalui jalan setapak yang ada di hutan kecil. Jalur ini memberikan warna tersendiri bagi peserta, ada yang ketakutan melewati jembatan sampai terhalang tumbuhan yang ada di sekeliling jalan. Selain itu, ada juga warga yang memanjat pohon untuk memetik kelapa. Selanjutnya, medan yang dilalui mulai menanjak dan situs mulai terlihat. Para mahasiswa SPI semakin bersemangat dan mempercepat perjalanan hingga sampai di tujuan.
Sampai di depan situs, para mahasiswa yang ikut beristirahat sejenak sebelum melihat-lihat di dalamnya. Selanjutnya, Lana Faiza mulai menjelaskan nama situs ini yang berasal dari tiga kata, selo = batu, manga/menga = terbuka, leng = lubang, yang digabungkan berarti batu berlubang yang terbuka/menganga. Gua yang sama juga ada di Kediri. Kedua gua ini sama-sama bercorak agama Hindu dari era Majapahit awal. Di depan gua terdapat relief yang menggambarkan wujud Kalakirtimuka atau Dewa Kala (penjaga waktu) yang bertujuan agar gua tetap bertahan melewati zaman. Terdapat juga lubang yang melambangkan tingkat keimanan seorang resi. Lubang yang paling rendah melambangkan seseorang yang masih memikirkan keduniawian sedangkan lubang yang paling tinggi melambangkan kebijaksanaan yang digunakan resi untuk melihat dunia.
Selanjutnya, penjelajahan dilakukan di dalam gua yang berisi relief-relief. Relief bagian kiri menggambarkan kematian, sedangkan bagian kanan menggambarkan kisah Arjuna Wiwaha yang digubah Mpu Kanwa di era Mataram Kuno. Lana menjelaskan bahwa ada dua cara dalam membaca relief. Pertama, pradaksana (searah jarum jam) dan kedua pasawiya (dibaca dari kiri ke kanan). Relief di gua ini sendiri dibaca secara pradaksana.Kemudian dia menjabarkan relief Arjuna Wiwaha yang mengisahkan pertarungan Arjuna dan Niwatakawaca. Niwatakawaca merupakan raksasa immortal (tidak bisa mati) penguasa Kerajaan Ima Imantaka.
Kisah bermula ketika Dewa Indra merasa terancam dengan Niwatakawaca yang berambisi menyerang Kahendran/Kahyangan (tempat tinggal para dewa) untuk memperistri bidadari yang bernama Supraba. Selanjutnya di relief tergambar Dewa Indra yang berdiskusi dengan para dewa dan memutuskan untuk memerintah Arjuna yang sedang bertapa di Indraloka untuk menghancurkan Niwatakawaca. Dewa Indra mengutus tujuh bidadari untuk menggoda Arjuna yang sedang bertapa, tapi usaha ketujuh bidadari itu gagal. Mereka kembali ke kahendran dan melaporkannya kepada Dewa Indra. Di sisi lain, Niwatakawaca juga mengetahui bahwa Arjuna sedang bertapa di Indraloka. Maka ia bersiasat agar Arjuna mencarikan bunga Sumarsanawilis yang akan digunakan untuk meminang Dewi Supraba dengan mengutus Mamangmurka untuk menemui Arjuna. Sayangnya, Mamangmurka tidak bisa menemukan Arjuna di Indraloka dan mengamuk menghancurkan lingkungan Indraloka.
Arjuna yang sudah selesai bertapa mengatakan sumpah serapah karena mendengar kegaduhan di Indraloka. Mamangmurka pun terkena kutukan dari sumpah serapah Arjuna dan menjadi babi hutan. Kemudian, Arjuna memanah babi hutan itu bersamaan dengan panah dari pemburu lain. Panah Arjuna pun moksa (menghilang) sehingga dia marah kepada pemburu itu karena panah tersebut merupakan pusaka miliknya. Pemburu tersebut moksa dan ternyata dia adalah Dewa Siwa yang sedang menyamar. Sang dewa mengakui kehebatan Arjuna dan memberinya panah Pasopati sebagai pusaka baru pengganti pusaka lamanya.
Singkat cerita, Arjuna menyetujui perintah Dewa Indra. Dia pergi bersama Dewi Supraba untuk mencari tahu kelemahan Niwatakawaca. Dewi Supraba diutus untuk menggoda Niwatakawaca dan menemukan bahwa kelemahannya terletak di pangkal lidahnya. Ternyata, raksasa itu mengetahui bahwa rahasianya sudah dibaca. Apalagi setelah mengetahui Mamangmurka mati karena dibunuh Arjuna, dia semakin murka dan berangkat menuju kahendran untuk menghancurkannya. Namun, di tengah perjalanan dia bertemu dengan rombongan Arjuna dan Dewi Supraba. Niwatakawaca yang berbadan raksasa meremehkan Arjuna yang berbadan kecil.
Minggu, 21 Mei 2023, HMPS SPI menyelenggarakan Goes to Situs ke Gua Selomangleng di desa Sanggrahan, kecamatan Boyolangu, kabupaten Tulungagung. Kegiatan ini bertujuan untuk mengisi liburan sekaligus meningkatkan rasa cinta sejarah. Para peserta kegiatan ini adalah mahasiswa SPI semester dua dan empat dengan dipandu Wafa Syaifa, mahasiswi SPI semester empat dan Lana Faiza, mahasiswi SPI semester enam. Perjalanan dimulai dari UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung dan memakan waktu 30 menit untuk sampai di situs.
Gua Selomangleng merupakan situs peninggalan dari era Mataram Kuno yang masuk kawasan BKPH Kalidawir kabupaten Tulungagung. Situs ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berbentuk gua dan bagian kedua ada di bukit di atasnya. Sebelum sampai di gua, peserta harus melalui jalan setapak yang ada di hutan kecil. Jalur ini memberikan warna tersendiri bagi peserta, ada yang ketakutan melewati jembatan sampai terhalang tumbuhan yang ada di sekeliling jalan. Selain itu, ada juga warga yang memanjat pohon untuk memetik kelapa. Selanjutnya, medan yang dilalui mulai menanjak dan situs mulai terlihat. Para mahasiswa SPI semakin bersemangat dan mempercepat perjalanan hingga sampai di tujuan.
Sampai di depan situs, para mahasiswa yang ikut beristirahat sejenak sebelum melihat-lihat di dalamnya. Selanjutnya, Lana Faiza mulai menjelaskan nama situs ini yang berasal dari tiga kata, selo = batu, manga/menga = terbuka, leng = lubang, yang digabungkan berarti batu berlubang yang terbuka/menganga. Gua yang sama juga ada di Kediri. Kedua gua ini sama-sama bercorak agama Hindu dari era Majapahit awal. Di depan gua terdapat relief yang menggambarkan wujud Kalakirtimuka atau Dewa Kala (penjaga waktu) yang bertujuan agar gua tetap bertahan melewati zaman. Terdapat juga lubang yang melambangkan tingkat keimanan seorang resi. Lubang yang paling rendah melambangkan seseorang yang masih memikirkan keduniawian sedangkan lubang yang paling tinggi melambangkan kebijaksanaan yang digunakan resi untuk melihat dunia.
Selanjutnya, penjelajahan dilakukan di dalam gua yang berisi relief-relief. Relief bagian kiri menggambarkan kematian, sedangkan bagian kanan menggambarkan kisah Arjuna Wiwaha yang digubah Mpu Kanwa di era Mataram Kuno. Lana menjelaskan bahwa ada dua cara dalam membaca relief. Pertama, pradaksana (searah jarum jam) dan kedua pasawiya (dibaca dari kiri ke kanan). Relief di gua ini sendiri dibaca secara pradaksana. Kemudian dia menjabarkan relief Arjuna Wiwaha yang mengisahkan pertarungan Arjuna dan Niwatakawaca. Niwatakawaca merupakan raksasa immortal (tidak bisa mati) penguasa Kerajaan Ima Imantaka.
Kisah bermula ketika Dewa Indra merasa terancam dengan Niwatakawaca yang berambisi menyerang Kahendran/Kahyangan (tempat tinggal para dewa) untuk memperistri bidadari yang bernama Supraba. Selanjutnya di relief tergambar Dewa Indra yang berdiskusi dengan para dewa dan memutuskan untuk memerintah Arjuna yang sedang bertapa di Indraloka untuk menghancurkan Niwatakawaca. Dewa Indra mengutus tujuh bidadari untuk menggoda Arjuna yang sedang bertapa, tapi usaha ketujuh bidadari itu gagal. Mereka kembali ke kahendran dan melaporkannya kepada Dewa Indra. Di sisi lain, Niwatakawaca juga mengetahui bahwa Arjuna sedang bertapa di Indraloka. Maka ia bersiasat agar Arjuna mencarikan bunga Sumarsanawilis yang akan digunakan untuk meminang Dewi Supraba dengan mengutus Mamangmurka untuk menemui Arjuna. Sayangnya, Mamangmurka tidak bisa menemukan Arjuna di Indraloka dan mengamuk menghancurkan lingkungan Indraloka.
Arjuna yang sudah selesai bertapa mengatakan sumpah serapah karena mendengar kegaduhan di Indraloka. Mamangmurka pun terkena kutukan dari sumpah serapah Arjuna dan menjadi babi hutan. Kemudian, Arjuna memanah babi hutan itu bersamaan dengan panah dari pemburu lain. Panah Arjuna pun moksa (menghilang) sehingga dia marah kepada pemburu itu karena panah tersebut merupakan pusaka miliknya. Pemburu tersebut moksa dan ternyata dia adalah Dewa Siwa yang sedang menyamar. Sang dewa mengakui kehebatan Arjuna dan memberinya panah Pasopati sebagai pusaka baru pengganti pusaka lamanya.
Singkat cerita, Arjuna menyetujui perintah Dewa Indra. Dia pergi bersama Dewi Supraba untuk mencari tahu kelemahan Niwatakawaca. Dewi Supraba diutus untuk menggoda Niwatakawaca dan menemukan bahwa kelemahannya terletak di pangkal lidahnya. Ternyata, raksasa itu mengetahui bahwa rahasianya sudah dibaca. Apalagi setelah mengetahui Mamangmurka mati karena dibunuh Arjuna, dia semakin murka dan berangkat menuju kahendran untuk menghancurkannya. Namun, di tengah perjalanan dia bertemu dengan rombongan Arjuna dan Dewi Supraba. Niwatakawaca yang berbadan raksasa meremehkan Arjuna yang berbadan kecil.
Minggu, 21 Mei 2023, HMPS SPI menyelenggarakan Goes to Situs ke Gua Selomangleng di desa Sanggrahan, kecamatan Boyolangu, kabupaten Tulungagung. Kegiatan ini bertujuan untuk mengisi liburan sekaligus meningkatkan rasa cinta sejarah. Para peserta kegiatan ini adalah mahasiswa SPI semester dua dan empat dengan dipandu Wafa Syaifa, mahasiswi SPI semester empat dan Lana Faiza, mahasiswi SPI semester enam. Perjalanan dimulai dari UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung dan memakan waktu 30 menit untuk sampai di situs.
Gua Selomangleng merupakan situs peninggalan dari era Mataram Kuno yang masuk kawasan BKPH Kalidawir kabupaten Tulungagung. Situs ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berbentuk gua dan bagian kedua ada di bukit di atasnya. Sebelum sampai di gua, peserta harus melalui jalan setapak yang ada di hutan kecil. Jalur ini memberikan warna tersendiri bagi peserta, ada yang ketakutan melewati jembatan sampai terhalang tumbuhan yang ada di sekeliling jalan. Selain itu, ada juga warga yang memanjat pohon untuk memetik kelapa. Selanjutnya, medan yang dilalui mulai menanjak dan situs mulai terlihat. Para mahasiswa SPI semakin bersemangat dan mempercepat perjalanan hingga sampai di tujuan.
Sampai di depan situs, para mahasiswa yang ikut beristirahat sejenak sebelum melihat-lihat di dalamnya. Selanjutnya, Lana Faiza mulai menjelaskan nama situs ini yang berasal dari tiga kata, selo = batu, manga/menga = terbuka, leng = lubang, yang digabungkan berarti batu berlubang yang terbuka/menganga. Gua yang sama juga ada di Kediri. Kedua gua ini sama-sama bercorak agama Hindu dari era Majapahit awal. Di depan gua terdapat relief yang menggambarkan wujud Kalakirtimuka atau Dewa Kala (penjaga waktu) yang bertujuan agar gua tetap bertahan melewati zaman. Terdapat juga lubang yang melambangkan tingkat keimanan seorang resi. Lubang yang paling rendah melambangkan seseorang yang masih memikirkan keduniawian sedangkan lubang yang paling tinggi melambangkan kebijaksanaan yang digunakan resi untuk melihat dunia.
Selanjutnya, penjelajahan dilakukan di dalam gua yang berisi relief-relief. Relief bagian kiri menggambarkan kematian, sedangkan bagian kanan menggambarkan kisah Arjuna Wiwaha yang digubah Mpu Kanwa di era Mataram Kuno. Lana menjelaskan bahwa ada dua cara dalam membaca relief. Pertama, pradaksana (searah jarum jam) dan kedua pasawiya (dibaca dari kiri ke kanan). Relief di gua ini sendiri dibaca secara pradaksana. Kemudian dia menjabarkan relief Arjuna Wiwaha yang mengisahkan pertarungan Arjuna dan Niwatakawaca. Niwatakawaca merupakan raksasa immortal (tidak bisa mati) penguasa Kerajaan Ima Imantaka.
Kisah bermula ketika Dewa Indra merasa terancam dengan Niwatakawaca yang berambisi menyerang Kahendran/Kahyangan (tempat tinggal para dewa) untuk memperistri bidadari yang bernama Supraba. Selanjutnya di relief tergambar Dewa Indra yang berdiskusi dengan para dewa dan memutuskan untuk memerintah Arjuna yang sedang bertapa di Indraloka untuk menghancurkan Niwatakawaca. Dewa Indra mengutus tujuh bidadari untuk menggoda Arjuna yang sedang bertapa, tapi usaha ketujuh bidadari itu gagal. Mereka kembali ke kahendran dan melaporkannya kepada Dewa Indra. Di sisi lain, Niwatakawaca juga mengetahui bahwa Arjuna sedang bertapa di Indraloka. Maka ia bersiasat agar Arjuna mencarikan bunga Sumarsanawilis yang akan digunakan untuk meminang Dewi Supraba dengan mengutus Mamangmurka untuk menemui Arjuna. Sayangnya, Mamangmurka tidak bisa menemukan Arjuna di Indraloka dan mengamuk menghancurkan lingkungan Indraloka.
Arjuna yang sudah selesai bertapa mengatakan sumpah serapah karena mendengar kegaduhan di Indraloka. Mamangmurka pun terkena kutukan dari sumpah serapah Arjuna dan menjadi babi hutan. Kemudian, Arjuna memanah babi hutan itu bersamaan dengan panah dari pemburu lain. Panah Arjuna pun moksa (menghilang) sehingga dia marah kepada pemburu itu karena panah tersebut merupakan pusaka miliknya. Pemburu tersebut moksa dan ternyata dia adalah Dewa Siwa yang sedang menyamar. Sang dewa mengakui kehebatan Arjuna dan memberinya panah Pasopati sebagai pusaka baru pengganti pusaka lamanya.
Singkat cerita, Arjuna menyetujui perintah Dewa Indra. Dia pergi bersama Dewi Supraba untuk mencari tahu kelemahan Niwatakawaca. Dewi Supraba diutus untuk menggoda Niwatakawaca dan menemukan bahwa kelemahannya terletak di pangkal lidahnya. Ternyata, raksasa itu mengetahui bahwa rahasianya sudah dibaca. Apalagi setelah mengetahui Mamangmurka mati karena dibunuh Arjuna, dia semakin murka dan berangkat menuju kahendran untuk menghancurkannya. Namun, di tengah perjalanan dia bertemu dengan rombongan Arjuna dan Dewi Supraba. Niwatakawaca yang berbadan raksasa meremehkan Arjuna yang berbadan kecil.
Arjuna berpura-pura jatuh untuk mengelabuhi Niwatakawaca dan membuatnya tertawa. Lalu dia melepaskan panah Pasopati dan masuk ke dalam mulut raksasa itu. Niwatakawaca mati seketika dan Arjuna berhasil memenangkan pertarungan itu. Sayangnya, bagian ini tidak terdapat di relief gua. Mendengar kematian Niwatakawaca, Dewa Indra memberikan anugerah kepada Arjuna untuk menikah dengan tujuh bidadari termasuk Dewi Supraba dan dijadikan raja Kahendran selama tujuh hari tujuh malam. Itulah kisah Arjuna Wiwaha yang dipahat menjadi relief Gua Selomangleng, Tulungagung.
Jadi, situs ini patut untuk dijaga kelestariannya. Dari sejarahnya, filosofinya, juga arsitekturnya. Pahatan Dewa Kala sebagai penjaga situs ini juga merupakan suatu doa agar Gua Selomangleng tetap bertahan melewati perkembangan zaman. Jadi, situs ini patut untuk dijaga kelestariannya. Dari sejarahnya, filosofinya, juga arsitekturnya. Pahatan Dewa Kala sebagai penjaga situs ini juga merupakan suatu doa agar Gua Selomangleng tetap bertahan melewati perkembangan zaman.