Diswara 1 : Sejarah apakah penting?

Diskusi dibuka dengan pertanyaan Sejarah itu penting atau tidak? oleh moderator kemudian dilanjutkan dengan argumen dari pemantik yang mengakatakan bahwa sejarah itu tidak penting karena sejarah terikat dengan ruang dan waktu sehingga dipelajari atau tidak sejarah tidak akan berubah. Misalkan ketika kita mempelajari sejarah proklamasi tetap saja sejarah berjalan sebagaimana adanya dan tidak dapat dirubah kembali. Tentu saja argumen dari pemantik mendapat banyak sanggahan dari peserta Diswara. Salah satunya adalah dari Betrand, mahasiswa SPI semester enam. Dia menyanggah, “Jika menurut pemantik sejarah itu tidak penting, lantas mengapa pemantik mengambil jurusan SPI?” Pertanyaan tersebut dijawab oleh pemantik jika dia mengambil jurusan SPI karena hobi dengan sejarah. Oleh karena itu baginya sejarah itu penting. Terjadi kontradiksi antara ucapan pemantik yang pertama dengan yang kedua. Lalu mana yang benar? Sejarah penting ataukah tidak?

Dalam pemaparan selanjutnya pemantikan mengklasifikasikan sejarah menjadi dua. Pertama pengetahuan sejarah yaitu sejarah hanya dipahami sebagai peristiwa di masa lalu. Kedua, ilmu sejarah yaitu sejarah sebagai ilmu pengetahuan yang memiliki pakem-pakem penulisan sejarah yang membatasi antara pengetahuan sejarah dan ilmu sejarah. Kita bisa memperoleh pengetahuan di masa lalu dengan membaca buku dan jurnal ilmiah dari berbagai platform. Namun untuk membedah dan merekonstruksi narasi yang kita terima wajib menggunakan ilmu sejarah.
Ketika membahas orisinalitas sumber sejarah pasti timbul pertanyaan bagaimana sih cara memilah buku-buku sejarah yang dapat digunakan sebagai referensi?. Pemantik menjawab bahwa belum ada pakem asli untuk membedakan mana buku sejarah asli dan fiktif. Menurut pemantik ada tiga cara untuk menentukan buku sejarah tersebut termasuk buku sejarah ilmu. Pertama, pemantik melihat terlebih dahulu nama penulis dan kevalidasian jenjang pendidikan si penulis buku. Kedua, buku sejarah ilmiah mencantumkan tiga unsur utama sejarah, yaitu: manusia,ruang dan waktu. Ketiga, pemantik melihat daftar pustaka dari buku tersebut.

Lantas, bagaimana kita dapat percaya jika buku sejarah tersebut riil dan tidak direkayasa dan adakah sanksi bagi pelaku pembelokan sejarah?. Pemantik menjawab jika sejarah ditulis oleh penguasa. Secara hokum sah-sah saja membelokkan narasi sejarah namun secara etika hal tersebut bertentangan dengan fungsi sejarah yakni untuk merekonstruksi peristiwa di masa lalu. Sanksi pelaku pembelokan sejarah adalah sanksi social. Contohnya buku “Sejarah Nasional Indonesia” karya Nugroho Notosusanto dicemooh oleh Sartono Kartodirjo karena dianggap sebagai antek-antek pemerintah orde baru.

Sejarah ditulis oleh pemenang, begitulah yang dikumandangkan Napoleon. Jika sejarah ditulis oleh kelompok borjuis apakah kaum proletar tidak berhak memiliki sejarah? Apakah ketimpangan tersebut yang menyebabkan sejarah Indonesia ditulis dengan corak Kolonialsentris bukan Indonesiasentris. Pemantik menjelaskan jika kaum pribumi telah terpengaruh pikiran kolonial sebab narasi Belanda sentris yang mengklaim bahwa bangsa Indonesia telah dijajah selama 3,5 abad padahal narasi tersebut masih kontradiksi. Seharusnya sejarah Indonesia ditulis dengan sudut pandang Indonesiasentris yang mengangkat peran-peran pejuang Indonesia.

Terlepas dari perbincangan tentang romantisme sejarah, Abdul dari prodi PIAUD bertanya,” Apakah dalam pelaku utama dalam sejarah harus manusia, apakah kucing oyen tidak boleh menjadi obyek sejarah?. Pemantik menjawab hanya manusia yang bisa menjadi obyek sejarah. Untuk menjawab pertanyaan tersebut pemantik memberikan analogi buku Sejarah Tuhan. Meskipun buku tersebut berjudul Sejarah Tuhan tetapi buku tersebut membahas kepercayaan manusia terhadap Tuhan sebagai dzat yang adi kuasa. Muhammad Burhanuddin, mahasiswa SPI semester 2 menambahkan bahwa Tuhan merupakan subyek kausalitas sedangkan obyek dari ilmu pengetahuan harus dapat dianalisis dengan panca indera sehingga kita tidak dapat menempatkan Tuhan sebagai obyektivitas sejarah.

Membahas perihal obyektivitas sejarah, Izza, mahasiswa BSA semester empat bertanya, “Sejarah sebagai ilmu harus bersifat obyektif, tetapi mengapa pada pengimplementasiannya sejarah ditulis dengan subyektivitas sejarawan?. Pemantik menjawab subyektivitas sejarah tidak dapat dihindari tetapi dapat direduksi melalui empat metode penulisan sejarah, yaitu: heuristic, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Diskusi ini ditutup dengan pertanyaan dari Syafirda, mahasiswa SPI semester empat ” Bagaimana cara menumbuhkan kesadaran sejarah?” Pemantik menjawab cara menumbuhkan kesadaran sejarah dengan romantisme sejarah yakni rasa penasaran untuk mengulik sejarah dari sisi dalam.

Diakhir Diswara moderator menambahkan jika sejarawan berasal dari huruf “ha” yaitu “ hurrun” ( kemerdekaan) dan “ ta” yaitu “ tammun” ( kesempurnaan). Esensi dari sejarah adalah kebebasan sebagaimana yang dikumandangkan oleh Fidel Castro “La Historia Me Absolvera” yang artinya “Sejarah Akan Membebaskanku” Jadi sebagai mahasiswa sejarah, kita harus menjadi pribadi yang merdeka namun tidak lalai.