Partisipasi Mahasiswa dan Dosen SPI dalam Seminar Kajian Koleksi Museum Daerah Kabupaten Tulungagung

Pada 26 sampai 27 Juli 2022 museum daerah Tulungagung ( Wajakensis) mengadakan seminar koleksi museum dengan dihadiri beberapa undangan lembaga aktifis sejarah, aktifis cagar budaya, dan guru sejarah. Pada kesempatan tersebut, ada dua puluh peserta dari prodi Sejarah Peradaban Islam UIN SATU Tulungagung yang terdiri dari dosen dan mahasiswa. Kegiatan tersebut dilaksanakan selama dua hari yang dengan lima narasumber. Pada hari pertama materi disampaikan oleh Ahmad Hariri, S.S., M.A, Trijiono, S.S., M.Pd. dan Dwi Cahyono, M.A.

Pada hari pertama seminar Bapak Trijiono S.S., M.Pd menjelaskan bahwa terdapat koleksi arca Ganesha yang ada di museum ini. Arca Ganesha memiliki ukuran diameter dada keliling 135 cm, tinggi 75 cm, dan lebar 38. Arca ganesha ini terbuat dari batu andesit. Arca ganesha adalah arca dewa manusia dengan kepala gajah, belalainya menghadap ke kiri menghisap mangkok yang digambarkan sebagai batok kepala sebagai simbol dewa ilmu pengetahuan. Ikonografinya sering kali digambarkan duduk uttuku tukasana (dua telapak kaki bertemu di tengah) dan ini merupakan sikap duduk khas Ganesha. Dewa Ganesha merupakan salah satu dewa yang terkenal dalam agama Hindu. Yang memiliki gelar sebagai dewa pengetahuan dan kecerdasan, dewa pelindung, dewa penolak bala/bencana, dan dewa kebijaksanaan. Dalam tradisi pewayangan Ganesha disebut juga sebagai Bathara Gana dan dianggap salah satu putra Bathara Guru (Siwa ). Arca Ganesha ini muncul sebagai dewa dengan wujud yang khas pada abad ke 4-5 Masehi, selama periode Gupta meskipun ia mewarisi sifat pelopornya pada jaman Weda dan Pra-Weda.

Bapak Ahmad Hariri S.S., M.A. menyampaikan deskripsi bahwa arca berkepala singa ini berbahan andesit berukuran panjang 72 cm, lebar 62 cm, dan tinggi 110 cm. Arca ini di gambarkan tunggal sebagai manusia berkepala gimbal. Informasi lisan menyebutkan bahwa arca berkeapal singa koleksi museum daerah kabupaten Tulungagung berasal dari Situs Goa Pasir di Duku Pasir, Desa Junjung, Kecamatan Sumbergempol, Kab. Tulungagung. Bagian hidung dan moncong telah patah. Mempunyai telinga lebar dengan rambut ikal dan bergiwang. Kedua tangan bersikap yogamudra/dhyanamudra dengan disertai atribut pada telapak tangan sebelah kanan. Pada bagian lengan terdapat kelat bahu ( keyura ) dan gelang ( kankana ) rangkap tiga pada pergelangan tangan. Pada bagian siku digambarkan berambut. Bagian badan mengenakan kalung ( hara ) menutup dada, bagian puting dada berambut. Pada bagian atas perut terikat tali perut ( Udarabandha ) mengelilingi tubuh. Sebuah badong ( penutup kelamin ) dengan tali rantai terikat di bagian pinggang sebagai sabuk. Arca digambarkan dalam posisi duduk dengan sikap kaki yang diperkirakan yogasana/padmasana. Dan bagian lutut digambarkan berambut.

Terdapat sinologi simha. Simbol singa dalam agama Hindu dan Budha menduduki peran penting. Singa sebagai wujud tokoh suci dan singa merupaka kendaraan bagi para dewa. Dan penggunaan binatang singa  di depan tempat suci digunakan sebagai penolak aura jahat. Narasimha merupakan awatara Wisnu dalam wujud manusia berkepala singa, narasimha berasal dari kata nara yang berarti manusia dan simha yang berarti singa. Penggambaram awatara Narasimha dapat di klarifikasikan menjadi tiga jenis yaitu Girija Narasimha, Sthauna Narasimha dan Yanaka Narasimha.

Bapak Dwi Cahyono menyampaikan bahwa Arca dewa Kartikeya ini berbahan dari batu andesit memiliki tinggi utuh kira kira 70-75 cm dan arca ini ditemukan dengan keadaan tidak utuh 55 cm. Dengan lebar 27 cm dan tebal 20 cm. Arca ini ditemukan dengan keadaan tidak utuh dan sudah rompak. Arca ini bejenis kelamin laki laki dengan ciri berbadan tegap dan di pahtakan dalam posisi tegak lurus mengenakan busana kebesaran meskipun tidak raya bertelanjang baju pada bagian atas, hanya mengenakan dodot di tubuh bagian bawah hingga sebagian mata kakinya, asesoris yang terlihat adalah ( keyura), gelang tangan, gelang kaki,  kalung bersusun tiga, tali kasta menyelempang pada tubuh ( uppawita), sabuk ( banda ) pada pangkal dodot dan lengkung sampur bersusun pada sisi depan dodotnya lengkap dengan pasangan uncal menjuntaisampai depan paha. Sebagian rambut masih tersisa pada bagian paha yakni ikal dan dua buah tangan (dwibhiyuja) mengarah ke bawah. Dengan demikian berdasarkan kelaziman arca ini digunakan sebagai perangkat upacara ke agamaan pada masa Majapahit abad XIV M. Indikator ke dewaan pada arca ini adalah pahatan ayam jago dalam Pantheon dewata yang punya relasi mitologi khusus dengan ayam jago adalah kartikeya. Mitologi hindu menyatakan bahwa dewa kartikeya merupakan putra dari dewa Agni oleh karena itu ia disebut sebagai Agnibhuh  demikian pula dalam sathapatha brahmana dikatakan bahwa dewa kartikeya di katakan sebagai putra dewa Rudra dengan wujud dari sembilan agni, namun dalam beberapa legenda dikatakan bahwa dewa kartikeya adalah putra sulung dari dewa Siwa dan dewi parvati sehingga memiliki hubungan erat dengan ganesha. Dengan demikian kartikeya adalah dewata dalam agama hindu dengan sekte salwa latar keagamaannya sesuai dengan reruntuhan candi di situs omben jago.

Peserta dari Prodi SPI UIN SATU Tulungagung berfoto bersama pemateri pada hari pertama.

Pada hari kedua, Rabu, 27 juli 2022. Acara Seminar Kajian Koleksi Museum Kabupaten Tulungagung di buka oleh pemaparan materi yang disampaikan oleh Bapak Agung Cahyadi, S.Pd., M.Pd. beliau memaparkan materi dengan judul Arca Garudeya/ Sang Garuda koleksi Museum Daerah Tulungagung. Pada kepempatan ini beliau menyebutkan bahwa dalam kepercayaan Hinduisme dan Buddhaisme Garudeya atau Sang Garuda merupakan sebuah makhluk antropomorphis-mitologis yang memiliki bentuk tubuh setengah manusia dan setengahnya lagi burung yang dipercaya merupakan wahana atau kendaraan Dewa Wisnu.

Bapak Agung Cahyadi, S.Pd., M.Pd. memaparkan bahwasanya didalam kitan Wiracarita mahabharata bagian pertama disebutkan bahwa garudeya merupakan anak dari resi Kasyapa dan Winata. Garudeya-lah yang kelak akan menyelamatkan ibunya (Winata) yang diperbudak oleh kadrun (salah satu istri dari resi Kasyapa) bersama seribu anaknya yang berwujud ular naga. Pada suatu waktu garuda bertanya kepada anak-anak Kadrun yang berbentuk ular naga agar bisa menyelamatkan ibunya dari perbudakan, para ular naga ini memberikan syarat kepada garudeya untuk mencarikan tirta amrta yang mana merupakan air suci yang bisa memberikan keabadian kepada orang yang meminumnya. Garudeya yang menyanggupi syarat tersebut kemudian bergegas mencari air tersebut dan kemudian menemukan air suci tersebut di tempat Dewa Wisnu. Sempat terjadi perebutan oleh keduanya dan kemudian berhasil direbut oleh sang garudeya dan dibawanya kembali ke hadapan para putra Kandrun. Sesampainya Garudeya dihapadan para putra Kadrun, Garudeya berjanji akan memberikan air tersebut setelah mereka mandi. Namun setelah mereka selesai mandi mereka mendapati air tersebut hilang dibawa kabur oleh Dewa Indera dan hanya menyisakan setetes air pada daun ilalang, bergegas para ular menjilati ilalang tersebut dan kemudian terbelahlah lidah mereka menjadi dua bagian. Sedangkan Garudeya berhasil membebaskan ibunya dan bergegas menuju ke Surga.

Bapak Agung Cahyadi, S.Pd., M.Pd. memaparkan bhawa Arca Garuda yang ada di Museum Daerah Kabupaten Tulungagung merupakan pecahan dari situs candi Penampihan yang berada di lereng gunung Wilis Kecamatan Sendang kabupaten Tulungagng. Arca ini ditemukan hanya bagian kepala dari garuda dan tidak dapat ditemukan bagian lainnya, arca kepala garuda ini lengkap dengan ornamen mahkota dikepalanya, rambut, diantara kedua bola matanya terdapat hiasan berbentuk segitiga. Arca ini memilki sepasang telinga di kiri kanannya layaknya telinga manusia dan pada bagian belakang telinga terdapat rambut yang terurai bergelombang kearah luar, serta paruh arca ini sedikit terbuka dan memiliki taring di samping kiri kanannya. Beliau juga memaparkan bahwa arca garuda juga di temukan pada situs-situs lainnya di Tulungagung, yakni pada situs candi Mirigambar, kompleks Goa Pasir, Kompleks Candi Penampihan, daerah Tunggangri Kalidawir, dan pada Prasasti Sapu Angin.

Pada kesempatan ini Bapak M. Dwi Cahyono, M.Hum. menyampaikan tentang Arca Buddha koleksi Museum Daerah Tulungagung. Beliau menyampaikan bahwa arca buddha yang dimiliki Museum ini dahulunya berada di beberapa titik yang ada di Tulungagung seperti Candi Sanggrahan dan situs Gondang Lor (kini : Desa Sukodono). Arca-arca ini di relokasikan ke museum dengan alasan keamanan, yang mana pada sekitar tahun 2000an banyak terjadi kasus-kasus pencurian tinggalan arkeologis, sehingga demi keamanan arca-arca tersebut dipindahkan ke Museum.

Beliau juga menyampaikan bahwa arca yang disimpan di museum memiliki keamanan yang lebih baik ketimbang berada di ruangan terbuka seperti situs. Kendati demikian arca-arca tersebut menjadi lepas konteks, arca-arca hanya diberikan keterangan singkat dan umum seperti identifikasi arca, asal, tahun, dan hal ini tidak cukup untuk memberi gambaran tentang arca tersebut, tentang lingkungan asalnya (alam), tentang letak arcanya, fungsi, dsb. Namun demikian, hal ini dapat diatasi dengan (1) memasang foto atau digital printing untuk background arca dengan nuansa asal arca tersebut. (2) memberi informasi tekstual dan visual secara rinci pada arca yang ada, seperti kesejarahan arca tersebut, letak, kegunaan, dsb. (3) membuat kajian mendalam tentang acra-arca tersebut, sehingga memberikan pengetahuan tentang arca ini kebada publik.

Bapak Tri pada kesempatan kali ini menyampaikan tentang Arca Parvati yang menjadi koleksi di Museum Daerah Tulungagung. Beliau menyampaikan bahwa parvati merupakan seorang dewi sekaligus istri dari Dewa Siwa, parvati memiliki beberapa nama seperti ; Uma, Gauri, Syama, Kili, Candi, Bhairavi, Durga dan Ambika. Pada kesempatan kali ini beliau menjelaskan bahwa Parvati memiliki dua wujud. Wujud pertama ketika ia bersama dengan Siwa ia memiliki dua tangan dan memakai Channavari, dan kemudian ketika ia sendirian ia akan memiliki empat tangan dan membawa aksamala, cermin, dan kadangkala membawa tokoh Ghanesa dalam ukuran kecil, sebuah lingga dan buah jeruk, serta kendaraan Parvati sendiri merupakan kerbau atau singa.

Peserta dari SPI UIN SATU berfoto bersama narasumber pada hari kedua.

Menurut sumber tertulis di Jawa seperti Smaradahana menyebutkan bahwa Uma (nama lain Parvati) memperoleh putranya Ghanesa. Pada saat Uma mengandung, para Dewa datang dan Dewa Indera datang dengan gajahnya, sehingga ketika lahir Ghanesha memiliki kepala menyerupai gajah. Pada kitab Tantu Panggelaran disebutkan bahwa Bhatari Huma tinggal di gunung Gandamana, kemudian putranya yang bernama sang Kumara datang menemuinya. Dalam percakapan keduanya Kumara salah dalam mengucapkan suatu hal dan hal ini mengakibatkan Bhatari Huma murka dan mengutuk Kumara menjadi raksasa. Atas kelakuan yang di lakukan huma yang mengutuk anaknya, sehingga mengakibatkan murka Bhatara Guru dan mengutuknya menjadi Bhatari Durgadewi.

Acara ini berakhir pada hari kedua, tanggal 27 Juli 2022 dan di tutup oleh Ibu Suprihatin, S.P., M.M. beliau merupakan Kabid Kebudayaan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tulungagung.