DISWARA : Hari Santri “Dibalik 22 Oktober”

Senin, 26 Oktober 2020, Diswara kembali hadir dengan mengusung tem Hari Santri : Dibalik 22 Oktober. Kali ini yang menjadi pemantik adalah M. Syafi’ul Fajar, mahasiswa SPI semester 3, dan yang menjadi moderator adalah Fikriyatul Azzahro Aulia, yang juga mahasiswa SPI semester 3.

Fajar memberikan sebuah pengantar diskusi yang mengaait peristiwa yang terjadi pada 22 Oktober 1945. Bahwasanya 22 Oktober merupakan momentum penting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, yang pada saat itu diduga kuat akan datangnya pasukan sekutu (NICA) ke Indonesia. Pada saat itu Hoofdbestur Nahdlatul Oelama mengeluarkan fatwa atas amanat KH. Hasyim Asy’ari di kantor Pengoeroes Besar Anshor Nahdlatul Oelama (PB ANO), yaitu akan wajibnya berjihad melawan pasukan NICA. Dari fatwa tersebut yang akhirnya dijadikan sebuah resolusi yang ditujukan kepada pemerintah Indonesia pada saat itu. Walau pada akhirnya, pemeruntah lebih condong ke arah diplomasi untuk menyelesaikan masalah.

Dari awal, kedatangan sekutu memang sudah tidak menunjukkan sifat kooperatif. Pada tanggal 24 Oktober 1945, Carwood, utusan dari Sekutu datang untuk melakukan erundingan dengan TKR Laut, Oemar Said dan beberapa anggot lainnya. Intinya, pihak sekutu membahas tentang penyambutan Sekutu yang terjadi pada besoknya, 25 Oktober 1945. Selain itu, pihak Sekutu juga memerintahkan kepada TKR untuk menurunkan bendera Indonesia dang menggantinya dengan bendera Inggris, serta mengosongkan wilayah radius 200 m dari pantai. Jelaslah hal tersebut ditolak oleh TKR.

Ketika tentara Sekutu mendarat, keesokannya mereka melakukan pergerakan ke arah kota, melakukan penyerangan ke Benteng Miring, melucuti meriam-meriamnya, serta menembak mati para penjaga. Dari sinilah muncul perlawanan dari rakyat Surabaya, bahwa dalih Sekutu ingin berunding tidak lagi dapat dipercaya. Kemudian rakyat Surabaya mulai membentuk brikade-brikade guna memblokade pergerakan Sekutu. Meletuslah pertempuran selama 4 hari, dengan puncaknya terbunuhnya A.W.S Mallaby. Hal itu membuat kemarahan dari Letnan Jenderal Philip Cristison, yang berujung pada ultimatum kepada rakyat Surabaya. Hingga muncullah fatwa Jihad fi Sabilillah kedua dan meletusla pertempuran 10 November 1945.

Hal itu bisa kita pahami bersama, bahwa spirit perlawanan kepada tentara Sekutu, tidak lepas dari fatwa para Ulama yang tertanam kuat pada jiwa rakyat Indonesia. Maka sebagai relevansi di masa sekarang adalah belajar dari masa lalu sudah menjadi keharusan tanpa paksaan. “bergerak maju ke depan, tanpa melupakan masa silam.”

Kemudian pertanyaan muncul dari peserta diskusi, apakah resolusi jihad yang dicetuskan KH. Hasyim Asyari itu sebagai individu, sebagai Indonesia, sebagai NU atau sebagai Anshorullah?

Fajar menjawab, bahwasanya resolusi jihad merupakan amanat dari KH. Hasyim Asyari yang disampaikan di gedung PB ANO Surabaya, yang kemudian dibacakan kembali pada besoknya di rapat pleno NU oleh KH. Wahab Chasbullah (sebagai fawa dan resolusi). Hal ini bisa diartikan bahwa fatwa yang dicetuskan individual kepada lingkup komunal (yang kebutulan menjadi Rais NU), untuk seluruh rakyat Indonesia.

Kemudian, sekiranya sudah cukup, moderator menutup diskusi dan pemantik closing statement.

“Penjajahan itu tidaklah benar-benar berakhir. Penjajahan akan terus datang dengan bentuk yang berbeda-beda. Sebelum 45 kita dijajah dengan senjata, bisa saja hari ini kita dijajah dengan benda-benda di sekitar kita. Maka, belajar dari masa lalu, untuk terus maju ke depan sangatlah perlu.”

HMJ SPI 26-10-2020