Susur Silam: Menapaki Tanah Suci Para Resi

Pada Sabtu, 22 Oktober 2022 HMPS Sejarah Peradaban Islam mengadakan kegiatan yakni susur silam di tiga tempat peninggalan sejarah, . Dengan mengambil tema “Menapaki Tanah Suci Para Resi” Titik kumpul peserta kegiatan susur silam berada di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. kegiatan susur silam ini dihadiri oleh mahasiswa SPI serta terdapat beberapa orang dari luar yang mengikuti kegiatan susur silam yang diadakan oleh HMPS Sejarah Peradaban islam. Tiga tempat yang di kunjungi dalam kegiatan susur silam yakni Candi Gayatri, Candi Sanggrahan, dan Makam Tumenggung surontani. Pada kegiatan susur silam HMPS Sejarah peradaban Islam mengundang Bapak Drs. Dwi Cahyono M.Hum dan mas Teguh Fatchur Rozi S.Hum., M. Pd. dari komunitas astagayatri untuk menjadi pemateri pada kegiatan susur silam.

Pada kunjungan pertama yakni Candi gayatri Mas teguh dan bapak dwi cahyono menjelaskan bahwa candi gayatri atau candi boyolangu ini merupakan candi yang bercorak, candi gayatri merupakan salah satu istri dari Raden Wijaya yang merupakan anak dari raja kertanegara tumapel terakhir. Gaytri memiliki jasa yang beras untuk kerajaan majapahit karena dari rahim gayatri melahirkan penerus kerajaan majapahit. Candi gayatri sudah mulai hancur karena ditemukan dalam keadaan sudah hancur. Kepala candi gayatri pun sudah tidak ada atau belum di temukan. Pada sekitar candi gayatri terdapat beberapa yoni dan arca parwati yang kemudian di pindahkan ke museum wajak. Terdapat sebelas umpak pada candi gayatri dengan candi pendamping di sisi kanan kiri candi gayatri. Pada candi ini di temukan angka tahun yang berada pada umpak yang memakai aksara jawa kuno. Candi ini dinamakan sebagai candi gayatri karena candi ini merupakan tempat pendarmaan untuk gayatri. Candi ini diperkirakan dibangun pada era Hayam wurukdan gayatri meninggal ketika pemerintahan hayam wuruk. Candi ini terdiri atas dua bagian secara arsitektur yakni batur candi/subismen dan kaki/ bismen. Terdapat pahatan pada kanan dan kiri yakni teratai yang utuh.

Foto bersama dengan background Candi Gayatri

Kunjungan kedua yakni candi sanggrahan, pada saat di candi sanggrahan HMPS Sejarah selain melakukan susur silam mengadakan diskusi sejarah yang membahas terkait tiga situs sejarah yang di kunjungi dengan moderator Muhammad Alfan Rizaqi mahasiswa Sejarah Peradaban Islam semester tujuh. Mas teguh dan bapak Dwi Cahyono menjelaskan bahwa candi sanggrahan dan candi gayatri merupakan candi yang berlatar belakang budha dan makam tumenunggung surontani berlatar belakang islam. Candi sanggrahan di temukan pada masa raffles dan terdapat pada catatan buku history of java 1817 yang menyebut candi sanggrahan sebagai candi sungkup. Candi ini di renovasi selama delapan tahun. Susastra Kakawin Nagarakretagama menyebut Candi Sanggrahan di Desa Sanggrahan dengan “Kuti Sanggraha” (pupuh 70.3) yang terletak di daerah Rawa (pupuh 82. 2-3). Secara harafiah kata Jawa Kuna “kuti” berarti : (dangau, gubug) biara Buddhis (Zoetmulder, 1995: 548). Hingga kini di kalangan Buddhis, sebutan “Kuti” masih dikenal untuk menyebut “pondok tinggal” dari para rahib Buddha, yang umumnya terletak di sekitar bangunan suci Buddhis. candi tersebut berlatar religi Mahayana Buddhisme tidak terbantahkan, mengingat di halaman candi konon kedapatan 5 (lima) buah arca Dhyani Buddha sebagai suatu set sistem “Tatagatha”, yang masing-masing diyempatkan di empat penjuru mata angin plus titik sentrum Arca-arca [yang sayang sekali kini dengan ke- pala yang terpengga]l oleh tindakan fandalistik itu menjadi benda koleksi di Museum Daerah Tulungagung (disebut juga dengan “Museum Wajakensis”). Tak banyak candi-candi Buddhis yang dilengkapi dengan satu set arca Dhyani Buddha dalam sistem Tatagatha. Candi ini dengan demikian memiliki keistimewaan sebagai tempat peribadatan Buddhis.

Foto bersama dengan background Candi Sanggrahan

Surontani hadir di tulungagung 1789 dan men 1826 ketika era pemerintahan hindia belanda VOC melakukan ekspansi ke daerah daerah. dalam legenda setempat. Surontani satu hadir di era sulta agung dan surontani dua hadir pada era amangkurat dan durasi waktunya kurang lebih 150 tahun. Dikatakan bahwa surontani dua adalah menantu dari surontani satu yang bertempat di Gunung budheg tulungagung. Surotani diberikan gelar tumenggung karena jasanya yang telah menempatkan wilayah tulungangung bagian dari bawahan mataram.

Diskusi di makam Surontani

Demikian lah penjelasan tiga situs bersejarah yang ada di Tulungagung oleh Bapak Dwi cahyono dan Mas teguh. Dan dapat di tarik kesimpulan bahwa dari tiga situs bersejarah ini saling memiliki hubungan pada zaman kerajaan dahulu. Candi candi tersebut merupakan tempat yang dijadikan sebagai tempat beribadah atau tempat suci.