Coffee History: Bagaimana Masa Depan Sejarawan?

Minggu (8/11) rangkaian acara terakhir dari progam kerja Divisi Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) dan Divivisi Relasi Informasi dan Komunikasi (Reforkasi) adalah Coffee History, sebuah kegiatan diskusi yang telah lama vakum, dengan mengundang pakar sebagai pengisinya.

Coffee History kali ini mengangkat tema yang tak kalah menarik untuk dibahas, yaitu Bagaimana Masa Depan Sejarawan, yang diisi oleh salah satu dosen sejarah di jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI) IAIN Tulungagung, yaitu Hendra Afiyanto, M.A. sebagai pemateri dan ditemani oleh moderator yang sudah tak asing lagi di kalangan mahasiswa SPI, yakni Muhammad Syafiul Fajar, seorang mahasiswa SPI semester 3.

Latar belakang dipilihnya tema ini adalah untuk menjawab pertanyaan para mahasiswa terkait masa depan sejarawan, serta membahas isu terkait penghilangan mata pelajaran sejarah.

Sekitar 15 menit sebelum diskusi dimulai, para peserta telah dipersilahkan untuk mengakses link zoom meeting yang telah disediakan. Tepat pukul 8.35 diskusi telah dimulai dengan sedikit pengenalan pemateri dan menyinggung latar belakang pemilihan tema oleh moderator. Dipersilahkannya Hendra Afiyanto selaku pemateri, pada pukul 8.41, untuk memaparkan materi yang akan dibahas pada diskusi kali ini.

Pada pemaparan materi oleh pemateri yang akrab disapa Pak Hendra ini, ia memfokuskan diskusi dengan tema yang lebih spesifik dalam judul power point-nya, yakni Lahan Tandus Sejarawan dan Abai Negara. Karena menurut Pak Hendra, tema yang disodorkan oleh panitia terlalu mengerikan untuk dibahas, dengan mengatakan bahwa ia bukan dukun atau anak indigo yang bisa melihat masa depan, dan nasib sejarawan. Terkait teks dan konteks membawa Pak Hendra mengambil tema tersebut terlebih lagi setelah maraknya isu penghapusan mata pelajaran pendidikan sejarah.

Pak Hendra memberikan sebuah awalan diskusi terkait sejarah dan sejarawan, yaitu sejarah merupakan produk dari sejarawan yang memberikan jawaban bahwa sejarawan lebih dulu dibanding sejarah. Ia juga mengutip dari John Tosh, bahwasanya fitrah manusia terlahir sebagai sejarawan, yang secara tidak langsung menjelaskan keterkaitan antara manusia dan sejarah. Namun nyatanya para kaum konservatif atau bahkan modernis masih menganggap sejarah itu tidak berguna untuk kehidupan manusia pada masa yang akan mendatang.

Pak Hendra juga menyampaikan betapa ngerinya rezim ini. Yang hanya menerima sesuatu yang praktis, dan dapat langsung dikonsumsi oleh masyarakat yang sekiranya dapat mendukung pada kemajuan IPTEK dan ekonomi. Padahal sebagaimana kita tahu bahwa ilmu sejarah merupakan ilmu humaniora yang tidak menghasilkan ilmu praktis, melainkan melahirkan sebuah ide atau pemikiran.

Besarnya antusiasme peserta, memunculkan pertanyaan dari salah satu audien, yaitu “Bagaimana cara mewujudkan pemahaman sejarah pada generasi milenial, apalagi pada masa pandemi saat ini. Apakah ada cara lain dalam pengenalan sejarah kepada masyarakat Indonesia, selain melalui bangku pendidikan?”. Tak lama menunggu, Pak Hendra pun menjawab, “Bahwa pada dasarnya mencari ilmu tidak hanya melalui bangku sekolah, apalagi sejarah bukankah sebuah ilmu yang pasti. Kita bisa saja mendapat pengetahuan dari komunitas-komunitas atau para pegiat sejarah. Terlebih kita berada di era revolusi industri 4.0 yang yang memaksa kita beradaptasi dengan teknologi dan komunikasi.”

Tanya jawab pun berakhir dan ditutup oleh moderator dan juga closing statement sekaligus pesan dari pemateri. “Dulu saat saya kuliah tugas saya adalah memotong anakronisme dalam sejarah, dan kali ini saya memberikan tongkat estafet itu kepada kalian. Bahwa sejarah memiliki tujuan serta manfaat terutama pada era revolusi industri 4.0.”