New DISWARA : Historisitas Islam Pesisir

Sabtu, 6 Juni 2020, HMJ Sejarah Peradaban Islam kembali mengadakan agenda diskusi online rutinnya untuk awal bulan ini. Diskusi kali ini mengangkat tema Historisitas Islam Pesisir yang diikuti oleh sekitar 100-an peserta dari berbagai instansi maupun komunitas pegiat sejarah. Diskusi ini untuk pertama kalinya menghadirkan mahasiswa yang bukan dari HMJ SPI IAIN Tulungagung, yaitu Teguh Fatchur Rozi.

Pemantik sendiri adalah seorang yang sudah lama dalam menggeluti dunia sejarah dan aktif di salah satu komunitas sejarah di kota Tulungagung, yaitu Asta Gayatri. Selain itu juga perlu diketahui bahwa pemantik adalah seorang mahasiswa S2 jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Tulungagung. Sedang untuk S1, ia tempuh  di UIN Sunan Ampel Surabaya dengan mengambil jurusan Sejarah Perdaban Islam.

Diskusi yang dimulai pukul 19.00 ini dipandu oleh Alfan Rizaqi, seorang mahasiswa SPI semester 2. Namun berbeda dari sebelumnya, diskusi ini menambahkan seorang notulen, yaitu Fikriyatul Azzahra, yang juga merupakan mahasiswa SPI semester 2. Fungsi daripada notulensi sendiri adalah mencatat jalannya diskusi agar bagi mereka yang ketinggalan diskusi bisa membaca ulang diskusi tersebut dengan tertata. Selain itu juga memudahkan bagi penulis berita acara ini dalam menulis ringkas inti daripada diskusi tersebut.

Dalam tema yang mengangkat sejarah Islam di daerah pesisir, Teguh mengerucutkan daerahnya di Tuban, karena konon katanya bahwa pemantik ini berasal dari Tuban. Jadi pemantik punya wawasan yang lebih  dalam tentang tempat asalnya tersebut.

Pemantik menjelaskan bahwa Perkembangan Islam bisa dikatakan sangat pesat, ketika pesisir Arabiyah Selatan (Yaman) sudah menjadi wilayah kekuasaan Islam, proses islamisasi ke timur semakin intensif. Hal itu dikarenakan adanya jalur perdagangan internasional yang biasanya disebut dengan Jalur Sutera Laut. Jalur Sutera Laut yang membentang mulai dari Arabiyah Selatan (Yaman) hingga Laut Cina Selatan. Mulai sekitar abad ke-5 Masehi lautan Hindia seolah-olah dipenuhi oleh kapal-kapal Cina, India, dan Arabiyah. Jauh sebelum Nabi Muhammad dilahirkan, orang-orang Arab telah banyak bermukim disepanjang rute dagang antara Laut Merah hingga Laut Cina Selatan. Kemudian Islam lahir di Arabiyah memberikan tenaga gerak baru kepada perkapalan mereka. Pelayaran dan perdagangan memang telah terlihat sudah maju pesat saat itu

Penyebaran agama Islam tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh negara lain. Telah diketahui bahwa penerima Islam pertama kali di Indonesia adalah warga pesisir. Pemilihan wilayah pesisir sebagai basis awal islamisasi karena berada di pesisir menjadi titik inti pertemuan berbagai suku, tradisi dan budaya dari bangsa lain. Pada saat itu transportasi yang paling ideal adalah menggunakan kapal. Hal itu dikarenakan faktor geografis letak antar daerah yang terbagi oleh lautan. Oleh karena itu, masyarakat pesisir cenderung lebih terbuka dibandingkan masyarakat pedalaman, karena akses pergaulan yang memang dari awal lebih luas dan terbuka kepada masyarakat lainnya.

Penerimaan islam di wilayah asia tenggara ada beberapa macam. Pertama, dengan mengkomunikasikan visis daripada agama Islam tersebut dalam bentuk keyakinan local yang berada di beberapa tempat di nusanatara. Keuda, dengan adanya pedagang Islam yang melembagakan diri di daerah pesisir, kemudian emikah dengan  beberapa keluarga penguasa local. Sehingga para penguasa local memeluk agam Islam. Para penguasa lokal dengan memeluk agama Islam berusaha menarik simpati perdagang muslim untuk menjalin persekutuan dalam bersaing untuk menghadapi pedagang-pedagang Hindu dari Jawa. Ketiga, lebih menekankan makna-makna Islam bagi masyarakat umum daripada kalangan elit pemerintah.

Dakwah model seperti ini sangat diuntungkan oleh situasi dan kondisi perdagangan umum abad-abad itu karena banyak para bangsawan pribumi juga turut aktif dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka juga menjadi sebagai pemilik kapal-kapal dagang saat itu. Hal ini kemudian menjadikan para pedagang asing tersebut masuk sebagai bagian kelompok elit masyarakat. Maka dari itu, tidak jarang para pedagang tersebut menjadi menantu para bangsawan pribumi.

Asmoroqondi merupakan tokoh mubaligh yang berhasil mengislamkan di wilayah Champa. Kemudian ia datang ke Jawa bersama Ali Rahmatullah dan Ali Murtadha dan berlabuh di Pelabuhan Tuban sekitar tahun 1440-an Masehi. Menurut berita tradisi Jawa, ia datang ke Jawa untuk menghadap Raja Majapahit yang menikahi adik isteri dari Syeh Ibrahim Asmoroqondi yang bernama Dewi Dwarawati. Dan kedatangan rombongan inilah yang menjadi salah satu faktor pesatnya islamisasi di Pesisir Jawa. Sesampainya di Tuban, Syekh Ibrahim Asmoroqondi jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. (Mahmudah, 2015) Ia dimakamkan di Desa Gesikharjo, Kec. Palang, Kab. Tuban. Dalam berita tradisi di Jawa, setelah wafatnya Syekh Ibrahim Asmoroqondi, Ali Rahmatullah dan Ali Murtadho melanjutkan perjalanannya untuk bertemu dengan Dewi Dwarawati di pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit.

Setelah satu tahun di Majapahit, Raja Majapahit tidak langsung mengangkat Raden Rahmat di Ampeldenta, melainkan menyerahkannya kepada Adipati Surabaya yang bernama Arya Lembu Sura. Arya Lembu Sura dikisahkan menempatkan Raden Santri Ali menjadi imam di Gresik dengan gelar Raja Pandhita Agung dengan nama Ali Murtala (Ali Murtadha).

Kemudian Raden Rahmat menggantikan kedudukan Arya Lembu Sura sebagai penguasa Surabaya. Dengan kedudukannya sebagai Adipati gerakan dakwah yang dilakukan oleh Raden Rahmat lebih leluasa, terutama dalam usaha memperkuat jaringan kekerabatan dengan penguasa-penguasa di wilayah lain.

Dengan kedudukannya sebagai pemimpin, gerakan dakwah yang dilakukan oleh Raden Rahmat lebih leluasa, terutama dalam usaha memperkuat jaringan kekerabatan dengan penguasa-penguasa di wilayah lain. Apalagi ia menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri Arya Adikara raja Tuban.

Kekerabatan Islam antar penguasa semakin menguat, dan hal itu mempercepat islamisasi di wilayah pesisir utara Pulau Jawa. Dari pernikahan ini lahirlah Makdum Ibrahim (Sunan Bonang/Sunan Wadat), telah bermukim dan giat berdakwah di banyak tempat di daerah-daerah pesisir Pulau Jawa sebelah timur. Ia juga dikabarkan telah lama menjadi penghulu di Masjid Agung Demak.

Tidak hanya Sunan Bonang, anak dari Sunan Ampel yang turut berdakwah di wilayah pesisir, yaitu Sunan Drajat. Kemudian Sunan Ampel ini punya santri yang banyak, dan beberapa santrinya telah mendirikan pemerintahan. Raden Patah yg menjadi Raja Kerajaan Demak, dan juga Sunan Giri yang mendirikan Giri Kedathon di Gresik.

Dengan melembagakan diri menjadi penguasa, islamisasi semakin cepat menyebar di Pulau Jawa. Dan beberapa waktu kemudian islamisasi mulai merasuk ke pedalaman, tidak hanya terbatas di pesisir saja. Mayoritas sejarawan dan peneliti mengakui bahwa penyebaran Islam yang berkembang secara spektakuler di negera-negara Asia Tenggara, berkat peranan dan kontribusi tokoh-tokoh tasawuf seperti halnya walisongo.

Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromistis. Tasawuf memiliki kecenderungan tumbuh dan berwawasan luas, tidak mempersoalkan perbedaan etnis, ras, bahasa dan letak geografis.Keberhasilan dakwah kalangan sufistik ini adalah akibat pergaulan dengan kelompok-kelompok masyarakat dari rakyat kecil dan keteladanan yang melambangkan puncak kesalehan dan ketekunan. Mereka berdakwah dengan memberikan kontribusi pada masyarakat berupa pelayanan-pelayanan sosial, sumbangan dan bantuan semangat kebersamaan yang diiringi dengan rasa persaudaraan.

Pemantik menjelaskan secara detail yang tidak bisa dituliskan semua di sini. Namun penjelasan tersebut menimbulkan pertanyaan dari salah seorang peserta diskusi, yaitu apakah dalam historisitas islam pesisir ada relasi antar daerah di sekitarnya atau hanya di Tuban saja?

Pemantik menjawab, bahwa jika relasi dengan Tuban dengan sekitarnya, pastinya ada. Ketika masa pendudukan Demak,  penguasa-penguasa di pesisir sudah dipersatukan oleh R. Trenggana. Relasi dakwah para mubaligh semakin leluasa. Salah satu tokoh terkenal adalah Sunan Bonang. Dalam berita tradisi Jawa kalau wilayah Dakwah Sunan Bonang Demak, Lasem,  Tuban.

Namun tak terasa jika diskusi tersebut memakan waktu hampir 4 jam. Sehingga daripada itu diakhirilah agenda Diswara kali ini. Karena Diswara ini masih dalam moment Syawal, sebagai closing statement, pemantik mengucapkan minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin. Selanjutnya salam penutup dari moderator pertanda berakhirnya diskusi kali ini.

HMJ SPI 06-06-2020