DISWARA : Trisakti “Detik-Detik Runtuhnya Orba”

Minggu, 17 Mei 2020, Diswara (Diskusi Mahasiswa Sejarah) diadakan kembali untuk kali keempat dengan mengangkat tema Trisakti: Detik-Detik Runtuhnya Orba. Tema tersebut diangkat berkaitan dengan peringatan Tragedi Trisakti pada tanggal 12 Mei yang lalu. Diskusi kali ini dipantik oleh Choirunnisak, mahasiswa SPI semester 4 dan dimoderatori oleh Fuad Abdul Baqi, mahasiswa SPI semester 2. Mengingat pandemi yang tak kunjung berakhir, sehingga diskusi ini masih tetap berbasis daring dengan menggunakan WhatsApp Group.

diskusi diawali salam dan sapa dari moderator kemudian dilanjut pemaparan materi oleh pemantik.  Dalam pemaparan materi oleh pemantik dijelaskan, bahwa Indonesia telah mengalmi beberapa sistim pemerintahan dari Orde Lama, Orde Baru hingga Era Reformasi. Orde Baru dalam sejarah bangsa Indonesia, telah menggoreskan berbagai macam peristiwa dan masih dikenang sampai sekarang. Menurut kamus Sejarah Indonesia yang disusun oleh Robert Cribb dan Audrey Kahin, Orde Baru adalah istilah umum untuk sistim politik yang berlaku setelah berkuasanya Soeharto pada tahun 1966 hingga kejatuhannya pada Mei 1998. Masa pemerintahan presiden Soeharto sangat otoriter, rakyat harus tunduk kepada pemerintah, kebebasan Pers dibatasi, adanya tindak Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), dan banyak keganjalan yang terjadi pada masanya. Di sisi lain, terkait dengan mundurnya Soeharto adalah krisis moneter pada tahun 1997, situasi politik di Indonesia, situasi keamanan hingga puncaknya pada gerakan mahasiswa pada tahun 1998.

Terkait sistim pemerintahan Orde Baru, pemantik menambahkan bahwa Orde Baru merupakan cita-cita Soeharto untuk mengubah sistim pemerintahan yang oligarki pada Orde Lama. Jika Orde Lama melegistimasi politik oligarkinya atas dasar revolusi belum selesai, Orde Baru melegistimasi politik oligarkinya atas pragmatisme pembangunan. Selain itu juga terjadi keganjalan seperti restrukturalisasi politik, dominasi kaum militer dan teknokrat semakin membesar di berbagai jabatan publik, hingga terjadinya KKN.

Pemaparan materi oleh pemantik menimbulkan bebrapa pertanyaan yang membuat utuhnya diskusi. Pertanyaan tersebut yaitu bagaimanakah nasib atau kepastian hukum dari korban-korban kerusuhan tahun 98, terutama yang tewas tertembak aparat keamanan, apa peran pemerintahan sekarang dalam menyelidiki kasus tersebut?

Pemantik menjawab dengan mengutip referensi dari Tirto.id, bahwa keadilan masih diperjuangkan sampai detik ini oleh keluarga korban dan elemen sipil yang peduli.  Tiap Kamis, keluarga korban dan para simpatisan penegak HAM dengan mengenakan baju hitam tanda duka menggelar aksi diam di depan Istana Merdeka sejak tahun 2007. Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, pada Oktober 2016 mengatakan bahwa kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, termasuk Tragedi Trisakti, akan diselesaikan secara non-yudisial yakni dengan musyawarah. Setahun setelah kejadian, proses hukum memang berjalan dan menyeret 6 terdakwa yang masing-masing dihukum 2 sampai 10 bulan penjara. Tiga tahun berselang, Sembilan terdakwa kasus penembakan mahasiswa Trisakti diadili di pengadilan Militer dan dijatuhi hukuman 3 sampain 6 tahun penjara. Namun, mengutip pernyataan Komnas HAM yang masih diingat sampai kini, bahwa para pelaku yang diadili di Pengadilan Militer adalah pelaku lapangan, sementara pelaku utamnya belum diadili.

Selain itu juga timbul pertanyaan apakah masa Orde Baru bisa disebut masa terkelam di Indonesia? Pemantik menjawab bahwa Orde Baru bisa disebut masa terkelam. Namun ada  dua prespektif berbeda yang melandasi tersebut. Pertama, masa terkelam karena zaman Orba terjadi banyak penyimpangan dan pelanggaran. Kebebasan pers dibungkam, missal jikalau ada seseorang dengan secara gamblang menginformasikan/mengkritik pemerintahan, maka ia akan hilang. Juga Tragedi Trisakti yang belum ada ujungnya. Tetapi Orde Baru bisa menjadi menguntungkan jika dilihat dari prespektif masyarakat kalangan ABRI atau para petinggi. Pasalnya Soeharto juga menyogok agar mereka berpihak pada Soeharto.

Seiring berjalannya waktu diskusi, meluaslah pembahasan dari diskusi tersebut dengan prespektif masing-masing para peserta diskusi yang tak mungkin dituliskan semua di sini. Sampai pada sekitar pukul 11.30, moderator mengakhiri diskusi ini dengan closing statement dari pemantik yang ternyata dituliskan sebelum moderator mengakhiri diskusi. [srjl]

“Itulah sejarah, banyak sekali prespektif yang muncul dari segi historiografi. Tugas kita yaitu mampu memilah dan menanggapinya, tentu menggunakan logika yang mampu menampung mana yang masuk akal dan mana yang tidak”

HMJ SPI 17-05-2020