DISWARA : Peranan Sastra Dalam Membentuk Karakter Bangsa

Tanggal 28 April 2020 bertepatan peringatan hari puisi, Himpunan Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam kembali menyelenggarakan diskusi berbasis online DISWARA (Diskusi Mahasiswa Sejarah). Meski bertepatan dengan bulan Ramadhan, tak sedikitpun mengurangi semangat teman-teman HMJ SPI untuk terus mengasah pikiran dan menambah pengetahuan. Diskusi kali ini mengambil tema “Peranan Sastra Dalam Membentuk Karakter Bangsa.” Diskusi ini diisi oleh Gilang Tahes Pratama sebagai pemantik dan Aisyah Maulida Rahmawati sebagai moderator.


Diskusi dimulai pada jam 9.17 dibuka dengan salam dan sapaan hangat dari moderator dan dilanjutkan dengan mempersilahkan pemantik untuk menyampaikan materi. Gilang yang merupakan salah satu mahasiswa pegiat sastrapun menyampaikan bahwasanya sastra berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti teks yang mengandung instruksi atau pedoman/teks yang mengandung sebuah ajaran. Sastra juga tidak hanya teks yang berisikan tentang intruksi ajaran tetapi juga merujuk pada sebuah tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Dalam perkembangannya kata “sastra” ditambah dengan awalan ‘su’ sehingga menjadi ‘susastra’, kesusastraan, kumpulan karya yang baik dan indah.
Pada dasarnya sastra itu lebih mengacu pada definisi sebuah teks. Sedangkan sastrawi lebih mengerucut pada sastra yang kental nuansa puitis atau abstraknya.


Selain itu makna sebuah kesusastraan juga menjadi sastra tertulis atau sastra lisan atau sastra oral. Di sini posisi sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan tetapi dengan bahasanya dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu yang biasanya dibumbui dengan kehadiran sebuah majas.
Melalui sastra anak-anak sejak usia dini bisa melakukan olah rasa, olah batin dan olah budi sehingga secara tidak langsung anak-anak memiliki perilaku dan kebiasaan positif melalui proses apresiasi dan berkreasi. Melalui sastra anak-anak akan mendapatkan pengalaman baru dan unik yang belum tentu bisa mereka dapatkan dalam kehidupan nyata. Bahkan karya sastra bisa menjadi sebuah media dan sarana yang ampuh untuk membentuk dan memupuk karakter anak sejak usia dini yg disebabkan sastra itu sendiri mengandung nilai etika dan moral yang berkaitan dengan kehidupan manusia.
Secara mandiri anak juga akan mengenal serta menyerap nilai-nilai moral, agama, budaya dan pendidikan karakter lainnya. Dengan demikian bukan tidak mungkin karakter anak akan terbangun menjadi karakter yang baik jika orangtua membimbing anaknya untuk mengenal sastra anak sejak dini. Langkah sederhana yang dapat dilakukan ialah mentradisikan mendongengi anak. Tradisi mendongeng di masyarakat kita sudah hampir punah.


Sastra itu sendiri tidak melulu membahas soal eksistensi diri/manusia sebagai objek utamanya melainkan juga membahas hal-hal yg notabenenya jauh di luar itu. Secara singkatnya, sastra itu tidak hanya berbicara tentang diri sendiri (psikologis), tetapi juga berkaitan dengan Tuhan (religiusitas), alam semesta (romantik), dan juga masyarakat (sosiologis). Sastra juga mampu mengungkap banyak hal dari berbagai segi. Banyak pilihan genre sastra yang dapat dijadikan sarana atau sumber pembentukan karakter bangsa.


Dalam skala garis besar, genre sastra yang sering digunakan sebagai media pembelajaran dan pembentukan karakter adalah genre sastra yang mengandung nilai literer-estetis, humanitis dan moral-etis yang dimana setiap sajian genre-nya memiliki keunggulan masing-masing.
Jika minat anak terhadap karya sastra dapat terbangun maka anak memulai mengenal nilai-nilai yang terkandung dalam sastra tersebut. Seperti halnya nilai-nilai moral agama budaya serta pendidikan karakter lainnya. Seperti yang kita tahu dewasa ini banyak anak-anak lebih sering ditidurkan dan dininabobok kan oleh televisi, gadget dan main-mainan online yang basisnya anak-anak lebih sering melontarkan kata-kata kotor seperti halnya (ngentd, aning, b*ngsat) dsb.


Jika kita riset lebih mendalam, kita akan mengetahui beberapa keunikan di negara maju seperti halnya Jepang, Amerika dan negara-negara di belahan Eropa lainnya yang notabennya itu dijejali sebuah sastra moral dan sastra etika sejak usia dini sebagai salah satu stimulus pembentuk karakter dan pematangan sikap kritis berpikir positif sejak dini.


Penyampaian materi pun menggelitik pemikiran audien untuk bertanya maupun menanggapi materi yang telah disampaikan salah satu pertanyaannya yaitu bahwa, “katanya P.A. toer kita itu harus menulis agar kita dikenang oleh sejarah, agar kita bisa menjadi seorang tokoh walaupun kita tidak memiliki privilege (hak istimewa). Namun, melihat realita sekarang banyak buku dijarah, karya sastra dianggap provokasi seperti karya Tere Liye (negeri para bedebah) karya Muhidin M.Dahlan (Tuhan izinkan aku menjadi pelacur). Bagimana sikap kita sebagai agent of change menanggapi hal tersebut, dimana kebebasan menulis dicekal oleh suatu golongan?”


Pemantik pun menanggapi Jika kita meninjau lebih dalam lagi, mungkin kita juga bisa mengerti tentang apa yang ada dibalik kejadian tersebut, tentang peraturan yg kurang konsisten dan negara yg sedang mengalami Chaos. Sebenarnya jawaban bisa kita cari / riset mengenai epistemologi siapa dalang dibalik meledakkannya wacana tersebut dan apa manfaatnya bagi mereka.
Bisa jadi para aparat yang bertugas menyita buku tersebut belum/tidak mengerti dan memahami tentang hal apa yang sedang ia lakukan dan didalam konteks ini bisa jadi seorang aparat penegak hukum belum memahami secara pasti hukum apa yang sedang ia tegakkan.
Lalu apa akan kita lakukan sebagai agent of change ? Kita bisa memulai dari hal kecil, yakni dengan menyadarkan diri kita sendiri dan memahamkan orang lain atas tindakan yang kurang tepat tersebut sekaligus kita juga menghadirkan sedikit solusi dari permasalahan tersebut kepada pemerintah melalui tulisan berisikan kritikan yang sifatnya membangun.


Ketika satu persatu pertanyaan telah dipuaskan oleh jawaban diskusi kali ini diakhiri pada pukul 11. 25 ditandai dengan closing statement dari pemantik dan pengucapan kembali salam oleh moderator.

“Lahirnya sastra ke dunia dapat membentuk kearifan budaya dari suatu bangsa agar memiliki jiwa humanis, kritis, beradab dan bermartabat”. [Alf]

HMJ SPI 28-04-2020