Bulan April bagi masyarakat Indonesia punya sejarah yang teramat penting bagi perjuangan perempuan, yaitu hari Kartini. Dalam rangka menyambut hari Kartini, HMJ SPI mengadakan agenda Diskusi Mahasiswa Sejarah (DISWARA) dengan mengambil tema “Habis Gelap Terbitlah Terang: Menelisik Pesan Perempuan Pejuang Kesetaraan”. Diskusi tersebut dilaksanakan pada Senin, 20 April 2020, satu hari sebelum peringatan hari Kartini. Diskusi berbasis online ini diisi oleh Fikriyatul Azzahra sebagai pemantik dan Uut Fauziah sebagai moderator, yang keduanya merupakan mahasiswi SPI semester 2.
Dalam diskusi tersebut, pemantik yang acap kali disapa Zahra ini menjelaskan bahwa, R.A. Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Jepara. Gelarnya merupakan pertanda bahwa ia keluarga bangsawan. Dalam tradisi Jawa, Raden Adjeng merupakan gelar yang diperuntukkan kepada perempuan yang belum menikah, dan apabila telah menikah maka akan berganti menjadi Raden Ayu.
Ayah Kartini bernama Raden Mas Adipati Aryo Sosrodiningrat, yang merupakan putra dari Pangeran Aryo Tjondronugoro keempat. Ibu dari Kartini bernama M.A. Ngasirah, namun bukan dari kalangan bangsawan. Sesuai peraturan dari pemerintah kolonial kala itu, bahwa bupati harus beristrikan seorang bangsawan. Sedang ayah Kartini sendiri diangkat sebagai bupati setelah Kartini lahir, yang dengan demikian menjadikan ayah Kartini menikah lagi dengan perempuan bernama Raden Adjeng Woeryan, yang merupakan putri dari Raja Madura. Hal ini menjadikan M.A. Ngasirah bukan istri utama, meskipun dia adalah istri pertama.
Pada masa pemerintahan kala itu, pribumi selalu mendapatkan status sosial yang lebih rendah daripada orang Belanda. Seperti halnya pendidikan, hanya orang-orang Belanda yang boleh mendapatkan pendidikan sekolah, sedang pribumi hanya dari kalangan priyayi saja yang diperbolehkan bersekolah. Karena Kartini merupakan kalangan bangsawan, sehingga ia disekolahkan oleh ayahnya di ELS ( Europe Lagere School), pun juga dari sini Kartini belajar bahasa Belanda. Namun ia hanya sekolah selama 12 tahun, karena usia Kartini kala itu dalam adat Jawa merupakan usia yang tepat untuk dipingit/diperistri.
Selain itu, Kartini juga gemar surat-menyurat dengan temannya yang berada di Belanda. Dari sini muncullah ketertarikan Kartini dengan pola pemikiran perempuan Eropa. Dari surat kabar, majalah dan buku-buku berbahasa Belanda membuatnya berwawasan luas dan berpikir bagaimana cara memajukan perempuan-perempuan pribumi yang kala itu memang sangatlah tertinggal. Kartini memberikan perhatian kepada emansipasi perempuan dengan perbandingan perempuan Eropa. Seorang perempuan perlu mendapatkan persamaan, kebebasan, otonomi dan kesetaraan umum. Pemikiran-pemikirann tersebut ia tuliskan kepada seseorang temannya di Belanda yang bernama Rosa Abendanon, yang juga sejalan dengan pemikiran Kartini.
Menurut sejarah, Kartini mendapatkan beasiswa untuk belajar di Batavia ataupun Belanda, namun oleh ayahnya tidak diperbolehkan untuk melanjutkan pendidikannya. Akan tetapi, Kartini masih diperbolehkan menjadi seorang guru yang merupakan cita-citanya. Setelah dinikahkan dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Adipati di Rembang, Kartini diberikan kebebasan oleh suaminya untuk mendirikan sekolah wanita pertama di Rembang yang kemudian sekolah itu sekarang dikenal sebagai gedung Pramuka.
Seorang pria Belanda bernama J.H. Abendano mengumpulkan surat-surat yang pernah ditulis Kartini ketika masih aktif berkorespondensi dengan teman-temannya di Eropa. Kemudian disusunlah surat-surat tersebut menjadi sebuah buku yang berjudul Door Duiternis Tot Licht dan kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Pemikiran-pemikiran Kartini menarik perhatian masyarakat, khususnya orang-orang Belanda, marena yang menulis adalah pribumi dan seorang perempuan. Pemikiran-pemikiran Kartini juga mengubah pola pikir orang-orang Belanda terhadap perempuan pribumi waktu itu.
Tidak lagi seperti perempuan zaman dahulu yang menghabiskan masa mudanya untuk dipingit, peran Kartini sangatlah besar terhadap emansipasi perempuan. Berkatnya sekarnga perempuan bisa bercita-cita, bersekolah, memilih jodoh dan dalam status sosial setara dengan perempuan-perempuan di Eropa.
–
Demikian penjelasan tentang R.A. Kartini yang disampaikankan pemantik. Selain itu juga ada tambahan dari peserta diskusi bahwasanya juga ada tokoh perempuan selain Kartini. Slalah satunya yaitu Nyai Ahmad Dahlan yang perjuangannya melalui jalur pendidikan. Selain berupa pondok pesantren yang dikhususkan untuk perempuan, Nyai Ahmad Dahlan juga mendirika sekolah-sekolah umum. Ia memilih jalur pendidikan karena beranggapan bahwa semakin perempuan terdidik, semakin mudah pula untuk diajak untuk maju.
Selain itu juga banyak pertanyaan yang keluar dari peserta, salah satunya apakah perjuangan R.A. Kartini sama dengan gerakan feminisme di Indonesia? Pemantik menjawab bahwa keduanya mempunyai tujuan yang sama yaitu memperjuangkan hak-hak perempuan. Namun perbedaannya hanya pada teknisnya, di mana R.A Kartini menuang gagasannya dalam bentuk tulisan-tulisan, mengingat adat Jawa yang masih sangat kolot kala itu. Sedang gerakan feminisme yang ada pada saat ini memiliki banyak cara untu menyampaikan gagasan-gagasannya.
Ketika dirasa sudah terjawab semua pertanyaan dari para peserta, dicukupkanlah diskusi kali ini. Diskusi ditutup dengan closing statement dari pemantik, bahwa semangat dalam memperjuangkan hak-hak perempuan bisa dirasakan sampai sekarang. Para perempuan bisa mencapai prestasi-prestasi gemilang saat ini merupakan bukti kongkrit dari cita-cita R.A. Kartini. [srjl]
HMJ SPI 20-04-2020
“Bukanlah laki-laki yang hendak kami lawan, melainkan pendapat kolot dan adat yang usang” [R.A. Kartini]