Formad : Sejarah Islam yang Termarginalkan di Sub-Sahara Afrika

Jum’at pagi yang bertepatan tanggal 13 Maret 2020 itu, para mahasiswa SPI seperti biasa mengadakan sebuah rutinan diskusinya yaitu Formad. Formad ini dimoderatori oleh Alfan Rizaqi dari SPI 2A yang juga merupakan seorang ketua kelas dan pemantik oleh Chamim Jazuli dari SPI 4A, yang bertempat di gedung Perpustakaan Lama lantai dua atau yang biasa disebut PL3. Minggu ini Formad bisa dikatakan berbeda, karena yang biasanya pembahasan Formad diakaitkan dengan hari bersejarah apa pada Minggu itu, tapi kali ini tidak demikian. Namun tak kalah menarik dari tema-tema sebelumnya, yaitu Sejarah Islam yang Termarjinalkan di Sub Sahar Afrika.

Gambar ini memiliki atribut alt kosong; nama filenya adalah img-20200313-wa0041.jpg

Bagaimanakah perkembangan Islam yang termarginalkan di Sub Sahara Afrika? Ketika kita bicara tentang peradaban Islam, utamanya di Timur Tengah, pasti kita tak lepas dari kisah-kisah Khulafaurrasyidin, bani Umayyah, Abbasiyah, tiga kerajaan besar hingga yang terakhir yaitu Utsmaniyah. Lalu dengan sejarah tersebut, mungkin kita merasa asing dengan kawasan yang bernama Sub Sahara Afrika. Bahkan minim sekali literatur-literatur yang menuliskan tentang hal tersebut.

Pada mulanya ada kesalahan konsepsi tentang Afrika, pertama yaitu tentang penamaan. Apakah Afrika ini berasal dari bahasa Venesia yang disebut sebagai “afer” yang berarti debu, atau berasal dari bahasa Yunani, “afrikos” yang berarti tidak dingin. Itu masih jadi perdebatan. Masih ada salah persepsi juga mengapa disebut Sub Sahara. Subsahara itu tidak meliputi Afrika secara keseluruhan. Jadi subsahara dengan Afrika Utara itu berbeda. Kalau Afrika Utara adalah kawasan yang beriklim gersang yang sekarang dikenal dengan gurun Sahara, yang meliputi negara Mesir, Maroko, Tunisia, Aljazair, Libya dan Litania. Dan secara kultural Afrika Utara itu dipengaruhi kebudyaan afroasiatik.

Sedang Sub-Sahara ini wilayah pinggiran dari Afrika Utara. Secara kebudayaan, kawasan Sub-Sahara ini dipengaruhi oleh etnis kulit hitam. Kemudian kawasan ini dianggap sebagai Afrika yang sesungguhnya. Namun Afrika lebih dikenal dahulu oleh bangsa luar, sedang Sub Sahara ini diangap daerah asing. Bahkan bangsa Eropa mengenal Sub-Sahara sekitar abad pertengahan.

Mungkin ketika bicara tentang Afrika, persepsi umum yang keluar adalah hitam, miskin dab primitif. Tidak salah jika persepsi kita tentang Afrika seperti itu. Ketika banyak peradaban yang mulai lahir di benua-benua lain, di Afrika sendiri belum ditemukan adanya sebuah peradaban, apalagi orang Afrika kuno itu itu tidak mengenal tulisan karena kawasannya itu terisolasi dengan dunia luar.

Ketika di dunia modern ini Afrika dalam persepsi umumnya orang, seperti miskin dab primitif, penyebabnya adalah kolonialisme dan konflik antara suksu. Selain itu juga ada konflik politik, intervensi dari negara-negara barat. Lalu gambaran tentang Afrika yaitu dipengaruhi oleh Samuel Morton. Dia adalah pencetus rasisime saintifik, sebuah teori yang dipatenkan. Morton menyatakan bahwa intelegensi itu dibagi menjadi lima tingkatan, yaitu pertama orang kulit putih, kaukasia yang merujuk pada orang Eropa, yang kedua orang Asia Timur seperti China, Jepang, Korea, yang ketiga Asia Tenggara, yang keempat suku-suku pribumi Amerika, dan yang terakhir yaitu ras Ethiopik atau Afrika. Dari rasisme ilmiah itu dikembangkan di Amerika hingga ke seluruh dunia.

Ketika pada zaman Klasik, orang-orang Sub-Sahara ini tertindas, pun juga di zaman modern ini. Lalu apakah Sub-Sahara Afrika tidak pernah mengalami masa kemajuan? Jawabnya pernah. Mereka pernah mengalami kemajuan pada abad pertengahan di mana pada saat itu merupakan masa kejayaannya Islam.

Sumber-sumber bahwa Islam pernah masuk ke kawasan Sub-Sahara Afrika adalah bahwa adanya sumber oral berupa adanya nyanyian-nyanyian orang Afrika, mitos dan pernasaban. Namun kebanyakan sumber Ini ditolak karena kebenarannya sangat diragukan. Kedua, adanya bukti tulisan, berupa manuskrip-manuskrip yang ditemukan di universitas yang berada di Mali. Yang ketiga adanya sumberbbenda, seperti istana dan masjid, yang demikian itu masih bisa dijumpai di negara Mali. Keempat ada sumber dari para penjelajah muslim, seperti Ibnu Batutah, Al Mas’udi, Al Idrisi, Al Bakri dsb. Mereka mencari Sub-Sahara menggunakan peta dari Ptolemaeus yang merupakan seorang penjelajah dari Yunani. Lalu bagaimana cara penyebaran Islam di Sub-Sahara?

Menurut Prof. Rahman Al Ido’i dan sejarawan dari London, menyatakan bahwa Islam masuk ke Sub-Sahara sekitar abad 8-9. Dia berpendapat bahwa kontak antara orang Arab dengan orang Negro melalui perdagangan. Di mana pola penyebaran di kawasan Sub-Sahara Afrika ini dibagi melalui tiga tahap, yaitu pertama ada penahanan, kedua ada percampuran dab ketiga ada purifikasi.

Pada mulanya para pedagang Arab menuju ke kawasan Ghana untuk berdagang, lalu ada pedagang juga dari Maroko. Tapi mereka ditahan oleh penguasa-penguasa lokal, yang menyebabkan sulitnya interaksi anatara orang Arab dengan orang Negro. Lalu mereka mencari taktik untuk bebas dari belenggu penahanan tersebut dengan cara menawarkan pada raja yang berkuasa mengenai administrasi, kredit dan jalur pos perdagangan. Lalu di situ muncul ketertarikan orang Afrika dengan orang Arab dan muncullah percampuran antara budaya Pagan Afrika dengan budaya Islam. Lalu lama-kelamaan setelah mereka mengadopsi budaya campuran Islam dengan Pagan tersebut, terjadilah purifikasi terhadap syariat Islam yaitu pembersihan dari hal-hal yang berbau Pagan.

Selain itu ada juga dinasti-dinasti di Afrika. Pada mulanya Ghana adalah kerajaan terkuat di Afrika Barat. Namun karena terjadi gempuran dari dinasti Al Murabbitun dari Maroko, akhirnya kerajaan ini melemah dan terpecah menjadi beberapa bagian. Sedang salah satu suku yang memeluk Islam pada waktu itu adalah suku Manden yang merujuk pada Mali. Suku tersebut mendirikan kekaisaran yang bernama Kadanga yang mayoritas berasal dari etnik Manden di Mali.

Kekaisaran Mali ini adalah kekaisaran Islam terbesar di Afrika Barat. Keunikan dari kekaisaran ini yaitu meskipun pemerintahannya monarki, tapi berbeda dari monarki lainnya. Di Mali, siapa yang berpengaruh dan kuat bisa menjadi raja.
Kekaisaran Mali juga mempunyai universitas yang bernama Angkore. Bahkan ada berita dari Barat bahwa kurikulum di universitas Angkore tarafnya sudah internasional. Dan juga ada catatan bahwa mahasiswa di universitaa tersebut mencapai sekitar 25000 orang. Dan ini menjadi sebuah bantahan tentang stigma jika Afrika itu budaya yang tidak mengenal tulisan.

Setelah mendengar penjelasan dari pemantik, kita bisa tahu bahwa ada sebuah kekaisaran islam yang pernah berdiri di Sub-Sahara Afrika. Bahkan ada universitas yang bertaraf internasional dengan jumlah mahasiswa yang tidak sedikit. Mungkin itu sebuah wawasan yang baru untuk para mahasiswa Sejarah Peradaban Islam.
Sekian lama diskusi, pada akhirnya harus diakhiri, karena waktu yang kian menuju siang. Selain itu suara murottal sudah terdengar dari arah masjid kampust tercinta, yang berati pula sudah dekat waktu untuk mendirikan ibadah sholat Jum’at. Diskusi kali ini diakhiri dengan closing statement sastrawi dari moderator, Alfan Rizaqi, yang juga merupakan penggemar sastra.

Mungkin kita sudah terbutakan oleh media. Menilai dari apa yang kita lihat dan omongan orang yang masih katanya
Apa yang kalian tau dari Afrika?
Miskin, kulit hitam, barbar, bertubuh besar
Apa yang kalian ingat dari Afrika?
Mungkin hanya rusa yang dikejar-kejar singa di Padang sabana untuk dimangsa
Usaha kita hanyalah meragu, bertanya, diskusi, dan membaca.
Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin diskusi tidak akan selesai. Silahkan kembali ke kosan, kembali rebahan, meletakkan badan, dan mengistirahatkan pikiran. Tugas tak perlu dibahas, skripsi tak perlu diurusi, karena sarjana tak berguna