Melestarikan Warisan Leluhur Melalui Sinau Angka Jawa Kuno

Tulungagung – Minggu (16/02), Komunitas Sejarah Asta Gayatri menyelenggarakan acara “Sinau Angka Jawa Kuno”. Acara yang bertempat di Angkringan Dulur Kopi, Kecamatan Tulungagung ini diikuti oleh peserta dari berbagai kalangan, mulai dari siswa SMA, mahasiswa, wiraswasta, guru, hingga dosen. Acara ini dinamakan “Kawuhukan Tumungggal i Kita (KAMUKTA)” yang berarti pengetahuan menyatukan kamu. Dengan mengambil tema sinau angka jawa kuno.

Sumber Foto: Agung P Rahagi

Pukul 09.00 WIB acara ini dimulai dengan pemaparan materi oleh Sugeng Riyadi dan Teguh Facthur Rozi. Para peserta dibimbing bagaimana membaca dan menulis angka Jawa Kuno. Satu per satu peserta mencoba membaca angka tahun yang terdapat pada foto prasasti yang telah disajikan panitia. Demi menunjang kemudahan peserta dalam memahami materi, dari panitia membagikan selembaran yang berisi tabel angka Jawa Kuno.

Dalam tabel disajikan berbagai macam bentuk angka, penyajian macam-macam bentuk angka tersebut dikarenakan dalam pemakaian angka jawa kuno setiap raja atau kerajaan tertentu memiliki karakter angka yang berbeda. ”Salah satu contoh perbedaan angka jawa kuno adalah tentang repa (tanda diatas angka), kalau pada masa Airlangga biasanya bentuk Repa mirip huruf S abjad, sedangkan pada masa Kerajaan Majapahit Repa biasanya lebih sederhana dan bentuknya menyerupai layar yang terdapat pada aksara jawa modern (hanacaraka)”. Jelas Teguh.Usai materi tentang angka jawa kuno cukup, kemudian dilanjutkan dengan menulis nama dan tanggal lahir memakai aksara jawa kuno.

Satu persatu peserta maju kedepan menuliskan nama dan tanggal lahirnya sendiri. Dari penulisan tersebut juga memunculkan hasil yang beragam, ada yang penulisannya benar dan ada yang masih sebagian kurang tepat, kekurangtepatan ini disebabkan karena ada satu angka/huruf dengan angka/huruf yang lain yang bentuknya hampir sama, atau juga penulisan angka yang kurang menyerupai bentuk asli sehingga sulit terbaca.

Untuk prakteknya secara langsung ke lapangan, kemudian pembelajaran berlanjut di salah satu situs yang terdapat di Botoran Kec.Tulungagung, situs ini berupa batu Altar yang terdapat di pengimaman musholla. Dari hasil intepretasi, batu ini adalah tempat untuk bersembahyang bagi seseorang. Di bagian samping altar tersebut terdapat sebuah angka tahun berjumlah 1060 Saka atau sekitar 1138 Masehi. Dari angka tahun yang terbaca bisa dipastikan bahwa itu adalah peninggalan era Raja Jayabaya yang pernah memerintah kerajaan Kediri kurun waktu 1135 sampai 1159 Masehi.

Di atas batu tersebut terdapat banyak lubang (ledokan) kecil dan 2 buah lubang yang agak besar. “Sebuah batu yang diatasnya terdapat ledokan biasanya dinamakan watu dakon, adapun dari batu yang kita lihat tadi, dua buah lubang yang agak besar fungsinya adalah untuk menaruh sesaji. Sedangkan lubang yang kecil-kecil tersebut fungsinya relatif, jika jumlah lubangnya kurang dari 30 buah maka fungsinya adalah untuk menuliskan penanggalan pembuatan tempat, dan kalau lubangnya lebih dari 30 buah biasanya digunakan untuk patokan masa bercocok tanam”. Tambah Garudhara, salah satu anggota komunitas.

Agung Pinasthiko Rahagi, salah satu anggota komunitas juga menambahkan intreperpretasinya tentang batu tersebut. Agung mengaitkan sebuah batu yang terdapat di Botoran tersebut dengan Prasasti Hantang di Malang yang bertahun 1135 masehi / 1052 saka. Kedua peninggalan tersebut tahunnya berdekatan pada era Jayabaya.

Dari sudut pandang geografi kedua peninggalan tersebut juga ditemukan di tempat yang sama, yakni dekat sungai. “Kalau Prasasti Hantang itu merupakan peninggalan yang bersifat insitu karena bertempat didalam sebuah lokasi yang dulunya luas, ini membuat batu yang berada di Botoran ini menjadi menarik untuk ditelisik lebih lanjut, apakah peninggalan ini juga insitu seperti halnya Prasasti Hantang atau tidak?”. Ujar Agung.“Acaranya cukup keren, karena sebagai kaum millenial sudah seharusnya kita lebih melek terhadap hal-hal kuno, demikian pun tahun jawa kuno. Saya berharap kegiatan seperti ini terus digalakkan, apalagi orang yang berstatus akademis sudah selayaknya paham sejarah leluhur kita, seolah mereka (leluhur) menawarkan kepada kita lewat aksara jawa kuno di prasasti untuk jangan pernah melupakan nenek moyang kalian”. Tanggapan Miftakhul Huda, Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab IAIN Tulungagung. (Twi/Nisa).