Formad : Sejarah Lokal Berbasis Komunitas

Pada tanggal 22 di bulan Februari ini, FORMAD (Forum Mahasiswa FUAD) Jurusan Sejarah Peradaban Islam IAIN Tulungagung berbeda dari biasanya. Di kesempatan kali ini, materi diisi oleh seorang sarjana muda lulusan UINSA (Universitas Islam Negeri Sunan Ampel) Surabaya tahun 2018. Walaupun baru menyandang predikat sarjana, namun pengalamannya cukup melimpah, sebab agenda jalan-jalan sejarahnya yang cukup padat. Sosok itu tak lain adalah Teguh Fatchur Rozi, S.Hum.


Diskusi kali ini bertema “Sejarah Lokal Berbasis Komunitas”. Tema yang sungguh sesuai dengan basic pemantik yang cukup lama memfokuskan diri mempelajari peninggalan-peninggalan sejarah yang ada di berbagai daerah, terutama di kota kelahirannya, Tuban. Diskusi pun menjadi berjalan dengan khidmat dan antusias dengan pembahasan yang fokus dan mendalam.


Diskusi dimulai pada pukul 10.20 WIB. dilaksanakan dengan forum melingkar diatas kursi di sepanjang sisi kelas. Diskusi kali ini diikuti oleh 46 anak dari tiga kelas yang berbeda. Forum dipimpin oleh Muh Fikri Haikal, selaku koordinator departemen Relasi, Informasi dan Komunikasi. Mengapa Muh. Fikri Haikal? Sebab sosok nya yang menjembatani untuk pertama kali relasi antara SPI IAIN Tulungagung baru dengan IKAHIMSI (Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia) satu tahun yang lalu.


Pembahasan dibuka dengan penjabaran mengenai peran penting komunitas sebagai ujung tombak pengamanan dan pelestarian situs serta benda-benda peninggalan sejarah. Hal ini tentu dapat difahami, sebab sebelum benda-benda berharga tersebut sampai di museum, komunitas daerah adalah tangan yang lebih dulu menyentuh dan mengangkatnya dari perut bumi pertiwi.


Sejauh ini, komunitas bekerja sama dengan BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya) dalam membangun kiprahnya. Mereka melaksanakan blusukan demi menemukan peninggalan-peninggalan sejarah baru, dan mencoba memberikan pengertian kepada masyarakat untuk tetap mencintai sejarah mereka. Sebab disatu sisi, benda-benda berharga ini juga menjadi incaran para kolektor yang terbiasa lebih mementingkan nilai ekonomis daripada nilai historis.


Semakin larut, pembahasan semakin asik dan antusiasme mulai memuncak. Hal ini disebabkan pemantik yang mulai menggambarkan semaraknya event-event budaya yang masih ada di Tuban. Selain itu, begitu banyak cerita-cerita sejarah Nusantara yang dikaitkan dengan Tuban, seperti Gajah Mada yang wafat di Tuban, dan sebagainya. Cerita-cerita tersebut tentu menarik, namun yang terpenting adalah menelusuri kebenaran dari sejarah tersebut.


Tak terasa, lima pertanyaan menjadi jelang akhir dari diskusi kali ini. Salah satunya adalah pertanyaan menarik mengenai bagaimanakah dengan penjelasan sejarah yang disampaikan dalam balutan sastra sebagaimana sejarah Tuban dalam karya Pramoedia, Arus Balik? Apakah dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan sejarah?


Teguh menyampaikan kurang setujunya beliau dengan sumber sejarah berupa novel. Hal ini dikarenakan novel identik dengan subjektivitas penulisnya. Selain itu sastra cenderung melebih-lebihkan dan menggunakan kalimat yang dapat melahirkan lebih dari satu pemahaman. Maka dari itu, novel sejarah sebaiknya digunakan hanya sebagai gambaran sosial masyarakat saja, bukan sebagai sumber pemahaman.


Sejarah lokal sesungguhnya sangat menarik, dan sejarah bumi kelahiran kita adalah identitas kita. Ditengah arus modernitas, ditengah berbagai lapisan yang mulai larut dalam urusan memenuhi kebutuhan dunia nya sendiri, orang-orang yang menghabiskan umurnya untuk merawat sejarah akan selalu ada. Orang-orang yang terus peduli dan melestarikan budayanya. Maka kita adalah generasi yang akan melanjutkan tapak langkah mereka.


Jangan pernah ragu untuk hidup demi terus menghidupkan sejarah daerah. Karena lahir dari sejarah, bukan dari masa depan.
Viva Historia

Salam peradaban.

HMJ SPI IAIN Tulungagung 22-02-2019